Sabtu, 4 Oktober 2025

Wacana kampus kelola konsesi tambang - Siapa yang mengusulkan dan bagaimana awal mulanya?

Usulan agar universitas mendapatkan konsesi pertambangan disampaikan ke Jokowi pada 2016, lalu kepada Prabowo Subianto tahun 2018.…

BBC Indonesia
Wacana kampus kelola konsesi tambang - Siapa yang mengusulkan dan bagaimana awal mulanya? 

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia mengaku sebagai pihak yang mengusulkan agar universitas diberikan hak mengelola tambang . Mereka telah menyampaikan wacana ini sejak era pemerintahan Jokowi.

Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Indonesia, Budi Djatmiko, menyebut bahwa usul agar universitas diberikan hak untuk mengelola tambang datang dari lembaganya.

Budi berkata, usulan itu pernah mereka sampaikan kepada Prabowo Subianto dan juga Joko Widodo.

Budi membuat klaim, APTISI memberikan usulan pertama kepada Jokowi pada tahun 2016.

"Dari Pak Jokowi tidak direspon, lalu saya usulkan kepada Pak Prabowo pada 2018," kata Budi kepada BBC News Indonesia.

Budi juga mengatakan bertemu berkali-kali dengan Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran untuk membicarakan usulan tersebut.

"Mungkin ada 15 kali ketemu," klaim Budi.

Usulan universitas mengelola konsesi pertambangan dirumuskan dalam dokumen berjudul "Usulan APTISI: Peta Jalan Pendidikan Bahagia Menuju Indonesia Emas 2045".

Pada dokumen itu, Budi Djatmiko tertulis sebagai penyusun dokumen. Nama lain yang tertera adalah La Ode Masihu Kamaludin, yang ditulis penyunting.

Kamaludin tercatat sebagai anggota dewan pakar pada Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran untuk Pilpres 2024. Dia sempat menjabat ketua Forum Rektor Indonesia pada 2013 dan pernah berkiprah sebagai anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan.

Kamaludin berkata, dokumen usulan itu mereka terbitkan pada Agustus 2024—sekitar dua bulan sebelum pelantikan Prabowo-Gibran.

Peta jalan yang disusun Budi dan Kamaludin memuat "permasalahan utama pendidikan" yang mereka klaim selama ini "bias perkotaan".

"Pada saat anak desa ke kota ambil jurusan industri, dia enggak akan kembali ke desanya karena desanya enggak ada industri," kata Budi via telepon, Selasa (21/01).

Dokumen usulan itu menyebut "pertambangan merupakan salah satu elemen dalam solusi permasalahan pendidikan".

Pada dokumen itu, mereka menulis bahwa "Indonesia memiliki kekayaan bahan terbaik di dunia". Pada poin tersebut pula, mereka membuat klaim "sumber daya manusia dan teknologi Indonesia belum mampu mengelolanya dengan optimal".

Sementara dalam poin "Strategi Bahagia Belajar-2", APTISI mengusulkan konsep "loan land". Mereka mendefinisikan istilah itu, bahwa "yayasan pendidikan diberikan pinjaman tanah pemerintah dan hak pengelolaan tambang untuk dimanfaatkan demi kepentingan pendidikan".

Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Budi menyebut usulan pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi didasarkan pada alasan bahwa "sebagian besar tambang di Indonesia dikuasai asing".

"Karena dikuasai asing, maka perguruan tinggi harus berpihak," klaim Budi.

Keberpihakan perguruan tinggi, menurut Budi bisa dilakukan dengan kontribusi universitas dalam pengelolaan tambang. Dia mengusulkan, universitas bisa mengembangkan program studi yang disesuaikan dengan komoditas yang hendak mereka kelola.

"Misalnya program studi nikel, nah disitu universitas bisa langsung mengelola nikel," kata Budi.

Apa tanggapan pemerintah?

Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi dan Sains Teknologi, Togar Simatupang, membenarkan cerita Budi Djatmiko.

Togar berkata, pemerintah sebenarnya telah membahas wacana universitas menerima konsesi tambang bersamaan dengan usulan ormas keagamaan mendapatkan hak yang sama.

Ormas keagamaan lebih dulu diserahi konsesi tambang karena pertimbangan prioritas, kata Togar, via telepon.

Togar menyebut sejumlah opsi kontribusi universitas dalam pengelolaan tambang.

Yang dikatakan oleh Togar adalah:

  • Hulu. Pengelolaan konsesi tambang dengan izin usaha pertambangan
  • Rantai nilai, mencakup sejumlah hal, mulai dari ekstraksi bahan mentah hingga mengirimkan produk ke pelanggan. Ini termasuk tahap pemurnian (smelter), pengolahan, atau fabrikasi, dan lain-lain.
  • Dana abadi tambang (investment pool) yang dikelola dalam kumpulan investasi konsolidasi.
  • Tandem, yang meliputi prospeksi dan eksplorasi, pengembangan proyek, penambangan atau pengolahan mineral, dan penutupan-reklamasi.
  • Di tengah kontroversi yang muncul terkait usulan ini, Togar berkata bahwa berbagai opsi yang dia sebut "belum final".
  • Hingga kini, klaim Togar, pemerintah masih menunggu DPR untuk secara bersama-sama membicarakan wacana pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi.

Bagaimana respons perguruan tinggi?

Universitas Negeri Padang (UNP) menyatakan kesiapannya untuk mengelola pertambangan jika aturan yang dikeluarkan pemerintah mengizinkan kegiatan tersebut. Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, pernah mendapat jabatan penting di kampus ini.

Sekretaris UNP, Erianjoni, mengatakan kampus terbesar di Sumatra Barat ini memiliki Program Studi (Prodi) Pertambangan dan para ahli yang tahu seluk beluk pengelolaan pertambangan.

Tapi sejumlah pengamat menilai keterlibatan kampus dalam tambang hanya akan menambah konflik terbuka dengan masyarakat yang dirugikan oleh aktivitas ekstraktif tersebut.

Direktur Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bakhtiar, bahkan menduga pemberian konsesi tambang kepada kampus cuma dalih pemerintah untuk bagi-bagi bisnis tambang.

Rencananya DPR bakal mengesahkan RUU Minerba tingkat satu pada Selasa (21/01) malam, sebelum dibawa ke Rapat Paripurna untuk disetujui menjadi undang-undang.

Pembahasan revisi aturan ini "dikebut dalam satu malam".

Apa alasan UNP terima kelola tambang?

Sekretaris Universitas Negeri Padang (UNP), Erianjoni, mengatakan pembahasan soal perguruan tinggi mengelola tambang batu bara sudah berlangsung sejak masa kepemimpinan mantan menteri ESDM, Arifin Tasrif –yang pada saat itu juga menjabat sebagai Majelis Wali Amanat (MWA) UNP.

Pada waktu itu, kampus terbesar di Sumatra Barat ini menyatakan setuju dan siap untuk mengelola izin pertambangan batu bara.

Sebab UNP, ucapnya, memiliki Prodi Pertambangan. Dia membuat klaim, dosen-dosen UNP juga sudah dan pernah bekerja menjadi konsultan di perusahaan-perusahaan tambang yang ada di Sumatra.

"Ya kami mendukung karena bagian dari program dan sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) kami harus mencari kerja sama dengan sektor luar, termasuk dengan pertambangan," ujar Erianjoni kepada BBC News Indonesia.

"Di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan sebagainya kami sudah jalan [kerjasama dengan perusahaan]. Kemudian dengan dunia perhotelan juga sudah bekerja sama."

Meskipun merasa sudah memiliki sumber daya manusia yang mumpuni, tapi dia menyebut universitasnya masih perlu mendalami sumber potensial yang menyediakan modal usaha.

UNP, sebutnya, belum membahas secara serius di tingkat pimpinan, terutama terkait tata kelola dan aturan konsesi pertambangan.

"Kalau memang tata kelolanya sudah diatur dalam undang-undang maka akan kami pelajari terlebih dahulu."

Dia juga bilang jika muncul keberatan dari publik maupun mahasiswa atas wacana tersebut maka UNP berjanji akan melakukan kajian lebih mendalam.

Pasalnya isu pertambangan juga terkait dengan lingkungan.

"Dalam setiap adanya program baru atau kegiatan baru, kami selalu komunikasikan dengan mahasiswa. Jika tidak mendapatkan respons yang baik, maka kami akan kaji lagi."

Unsri masih pikir-pikir

Di Palembang, Rektor Universitas Sriwijaya (Unsri) Prof Taufiq Marwa, mengatakan pihaknya belum pernah diajak berdiskusi secara langsung oleh pemerintah atau DPR soal pengelolaan tambang yang masuk dalam RUU Minerba.

Kendati diakuinya wacana tersebut telah bergulir sejak beberapa bulan lalu. Tapi kalau perguruan tinggi benar-benar akan mendapatkan konsesi, dia bilang belum bisa memastikan apakah akan menerima atau tidak.

Sebab Unsri akan melihat berbagai hal, semisal dari aspek kemampuan mengelola tambang. Ini karena bisnis utama kampusnya adalah di bidang akademik.

Selain itu Unsri, klaimnya, juga harus menyiapkan sumber daya manusia dan fasilitas yang memadai.

"Tapi setidaknya kami harus punya fakultas yang berkaitan dengan pengelolaan tambang seperti Fakultas Pertambangan sehingga bisa berkolaborasi dengan pihak profesional yang paham dengan pengelolaan tambang," ujarnya.

"Misalnya tidak punya, barangkali kurang cocok. Kami melihat sumber daya manusia yang ada, status perguruan tinggi juga. Tidak mungkin perguruan tinggi satker kelola tambang."

Untuk diketahui, Unsri memiliki jurusan pertambangan di Fakultas Teknik yang termasuk cukup tua, setelah Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan akreditasi unggul.

DPR kebut pembahasan revisi UU Minerba

Keterlibatan perguruan tinggi mengelola tambang masuk dalam revisi keempat UU Mineral dan Batu bara (Minerba).

Pembahasan revisi aturan ini "dikebut dalam satu malam" atau sejak Senin kemarin, pukul 11:00 WIB hingga 23:14 WIB.

DPR disebut bakal mengesahkan RUU Minerba tingkat satu pada Selasa (21/01) malam, sebelum dibawa ke Rapat Paripurna untuk disetujui menjadi undang-undang.

Beberapa usulan baru yang masuk dalam draf perubahan tersebut di antaranya:

Pertama, percepatan hilirisasi mineral dan batu bara.

Kedua, aturan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.

Ketiga, memprioritaskan pemberian IUP kepada perguruan tinggi.

Keempat, pemberian IUP untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan luas kurang dari 2.500 hektare.

Dua poin terakhir merupakan gagasan baru yang sebelumnya tidak masuk dalam UU Minerba.

Pemberian IUP untuk perguruan tinggi termuat dalam Pasal 51A yang menyebutkan: "Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.

Pemberian dengan cara prioritas itu dilaksanakan dengan mempertimbangkan luas WIUP mineral logam, akreditas perguruan tinggi dengan status paling rendah B; dan/atau peningkatan akses dan layanan pendidikan bagi masyarakat.

"Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian WIUP mineral logam dengan cara prioritas kepada perguruan tinggi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah," demikian bunyi pasal RUU Minerba.

Sedangkan IUP bagi UMKM diatur dalam Pasal 51B dengan mempertimbangkan peningkatan kerja dalam negeri, jumlah investasi, hingga pemenuhan nilai tambah dan rantai pasok.

Apa alasan DPR merevisi UU Minerba?

Ketua Badan Legislasi DPR, Bob Hasan, mengeklaim alasan merevisi UU Minerba ini untuk menyediakan payung hukum buat pemberian tambang kepada organisasi masyarakat keagamaan dan ormas keagamaan.

Alasan lain, sebagai penyesuaian aturan dalam undang-undang sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020 serta Nomor 37/PUU-XIX/2021.

Selain itu, Baleg DPR menilai perlu ada aturan baru untuk mempercepat hilirisasi.

"Kedua, perlunya diundangkan prioritas bagi ormas keagamaan untuk mengolah pertambangan, demikian juga dengan perguruan tinggi, dan usaha kecil dan menengah," ujar Bob saat membuka rapat penyusunan RUU Minerba, Senin (20/01).

Mayoritas fraksi di DPR menyetujui revisi UU Minerba.

Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi PAN, Saleh Daulay, mendukung perguruan tinggi mendapatkan izin pengelolaan tambang dengan alasan agar bisa menciptakan lapangan pekerjaan.

Saleh juga beranggapan pemberian tambang ini sekaligus menjadi ilmu langsung yang diterapkan.

"Namun dengan adanya pemberian izin pengelolaan tambang ini, paling tidak dalam bidang pertambangan perguruan tinggi diberikan semacam tantangan untuk membuktikan bahwa mereka memang benar-benar adalah lembaga yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat teoritis, tetapi bersifat praktis yang menciptakan lapangan pekerjaan secara konkret," katanya seperti dilansir detik.com.

Sementara itu, Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryadi, mendukung usulan perguruan tinggi mengelola tambang karena dianggap punya dampak positif.

Salah satunya, klaim Bambang, untuk mengurangi beban universitas terkait uang kuliah tunggal.

Hanya saja, Anggota Bales DPR dari Fraksi PDIP, Andreas Hugo Pareira, mempertanyakan apakah pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi akan melanggar undang-undang tentang perguruan tinggi.

Dia juga menyoroti rencana pemberian izin tambang terhadap organisasi masyarakat.

"Kalau diberikan izin usaha pertambangan, apakah itu tidak bertentangan dengan UU PT? Juga usulan untuk Ormas, UMKM. Ke depan nanti orang akan berlomba lomba bentuk Ormas, UMKM supaya kebagian IUP," jelas Andreas.

Karenanya dia meminta agar Baleg mendengarkan masukan dari berbagai pihak mengenai aturan pemberian izin pertambangan ini. Terutama, kata dia, pendapat ahli dan akademisi.

Kampus bakal jadi 'stempel' penambangan yang merusak

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai revisi UU Minerba yang keempat kalinya ini tidak bisa semata dibaca sebagai langkah untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020 serta Nomor 37/PUU-XIX/2021.

Sebab dua putusan itu sama sekali tidak terkait dengan perluasan pemberian izin pengelolaan tambang kepada kampus maupun usaha kecil, mikro, dan menengah.

Kepala Divisi Hukum dari Jatam, Muhammad Jamil, menilai pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi dan UMKM justru untuk dijadikan "stempel" dalam rangka melancarkan proses pertambangan batubara yang memiliki daya rusak sangat besar, merusak lingkungan, bahkan mematikan.

"Terkonfirmasi bahwa ada 59 anak di Kalimantan Timur yang sampai hari ini tidak mendapatkan keadilan," ujar Muhammad Jamil kepada BBC News Indonesia.

"Dan di tengah dunia meninggalkan batubara, justru ormas keagamaan yang dipercaya publik, termasuk perguruan tinggi ditarik menjadi bagian stempel pembenaran bahwa [pertambangan] telah mendapatkan legitimasi."

Ia juga bilang untuk mengelola tambang dibutuhkan sumber daya dan dana yang besar. Sebab industri ekstraktif ini termasuk padat modal.

Dalam konteks itu, Jamil ragu kampus bisa memenuhi hal tersebut jika tidak berkongsi dengan perusahaan lain.

Pada situasi tersebut maka perguruan tinggi akan kehilangan independensi serta daya kritisnya.

Tapi lebih dari itu, klaimnya, terbuka kemungkinan akan terjadi konflik terbuka antara masyarakat dengan perguruan tinggi.

"Karena tambang ini tidak berada di ruang hampa, sudah diketahui tambang menciptakan konflik dan kesakitan kepada masyarakat."

"Sebab konsesi yang diberikan berada di wilayah bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) alias kontrak-kontrak zaman dulu."

"Dan itu semua punya catatan penderitaan lintas generasi. Bahkan wilayah itu belum terpulihkan. Kalau diberikan kepada perguruan tinggi akan melipatgandakan derita."

"Artinya tujuan perguruan tinggi melakukan pengabdian ke masyarakat, justru berkonflik secara terbuka dengan rakyat."

Itu mengapa Jamil meminta seluruh perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia untuk berani menolak usulan tersebut.

Sebab bagaimanapun, katanya, kampus memiliki tugas berat sebagai pendidik.

"Perguruan tinggi harus berani menyatakan bahwa tugas kami adalah menjalankan mandat sesuai konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa."

Direktur Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bakhtiar, juga sependapat.

Dia berkata proses pembahasan RUU Minerba ini melanggar tahapan proses pembentukan perundang-undangan. Sebab lazimnya pembuatan undang-undang harus melalui tahapan program legislasi nasional.

Sementara RUU Minerba digeber tanpa masuk prolegnas terlebih dahulu dan jika terjadi kekosongan hukum. Adapun beleid ini, klaimnya, tidak melihat hal tersebut.

"UU Minerba tidak mengalami masalah konstitusional, terutama sejak 2024 lalu, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan soal pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi masyarakat," ujar Bisman.

"Sebenarnya secara formil ini tidak cepat, secara material ini terlalu dipaksakan," sambungnya.

Bisman menilai pemberian konsesi tambang batubara kepada perguruan tinggi dan UMKM hanya dalih pemerintah untuk bagi-bagi bisnis tambang.

"Jadi ini betul-betul membuka keran siapapun akan bisa diberi lokasi tambang oleh pemerintah sepanjang pemerintah berkehendak."

Karpet merah ormas kelola tambang

Sebelumnya pemerintah di masa kepemimpinan Joko Widodo menandatangani aturan yang membolehkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk memiliki izin pengelolaan tambang.

Aturan itu keluar setelah Jokowi sempat menjanjikan konsesi pertambangan mineral dan batubara kepada generasi muda Nahdlatul Ulama (NU) dengan alasan "dapat menggerakkan gerbong-gerbong ekonomi kecil" pada 2021.

Pada Mei 2024, pemerintah pun menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Berdasarkan aturan tersebut, pemerintah memungkinkan badan usaha milik ormas keagamaan mendapat "penawaran prioritas" untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang selama ini diprioritaskan untuk badan usaha negara.

Ormas keagamaan juga hanya bisa mendapatkan izin konsesi untuk komoditas batubara di wilayah bekas perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved