Kisah PRT, supir angkot, penjual sabun, dan tukang mi ayam menjadi caleg - 'Dana kampanye dari hasil mengosek WC'
Bagaimana para caleg miskin menyiasati biaya politik yang tinggi dan tantangan apa saja yang mereka hadapi saat berkampanye? BBC News…
Bermodal upah mengosek kamar mandi, meminjam uang dagang nasi uduk orang tua, hingga menyisihkan Rp10.000 per hari dari berjualan sabun, sejumlah individu dari kalangan masyarakat miskin kota bertarung memperebutkan kursi legislatif dalam Pemilu 2024.
Mereka yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT), supir angkot, penjual sabun keliling, dan tukang mi ayam ini mencoba memikat pemilih - pada saat masyarakat miskin kota, menurut pengamat politik, kadung terbiasa menerima ‘hadiah’ dari para calon legislatif (caleg) saat berkampanye.
Dengan berbekal dana Rp1 juta hingga Rp6 juta, mereka tetap menyimpan asa untuk menang, walau itu bukan jadi tujuan utama. Angka ini tentu tak sebanding dengan besarnya dana yang dikeluarkan oleh para caleg pada umumnya.
Dalam sebuah riset, biaya yang dikeluarkan seorang caleg pada pemilu-pemilu sebelumnya berkisar dari Rp250 juta hingga Rp2 miliar.
Mereka berharap partisipasi kelompok miskin dalam hajatan akbar demokrasi dapat menginspirasi dan menciptakan kehidupan politik yang inklusif. Bukan hanya dimiliki oleh kelompok berduit, tapi juga dari kelas menengah ke bawah.
Pengamat politik menilai kans kelompok miskin kota untuk menang dalam kontestasi politik relatif kecil di tengah mahalnya biaya politik di Indonesia. Hal itu disebabkan oleh model pencalonan dan kampanye yang kandidat sentris – setiap calon berjuang seorang diri, baik itu dari biaya hingga kampanye.
Lalu, bagaimana para caleg miskin itu menyiasati biaya politik yang tinggi dan tantangan apa saja yang mereka hadapi saat berkampanye? Wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, mengikuti kegiatan mereka bertemu dengan para calon pemilih.
Yuni, PRT di Jakarta: ‘Kampanye dari mengosek WC’
Menyusuri gang sempit yang hanya dapat dilewati sepeda motor di wilayah Cipete Utara, Jakarta Selatan, saya tiba di rumah Yuni Sri Rahayu, seorang PRT yang menjadi caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta nomor urut empat.
Di rumah kontrakan yang disewa dengan harga Rp1,2 juta per bulan itu, Yuni tinggal bersama dengan keempat anaknya.
Di ruang utama – dengan kamar tidur dan ruang tamu hanya disekat lemari – Yuni menceritakan perjalanan hidupnya dari menjadi PRT sejak tahun 2008 hingga kini dia menjadi seorang caleg.
Diskriminasi, pelecehan seksual, kekerasan verbal dan ekonomi, pernah dialami Yuni.
Kendati begitu, dia mengaku bersyukur atas kondisi hidupnya saat ini. PRT lain, katanya, kerap mengalami kondisi lebih buruk.
Seorang diri menghidupi keempat anaknya, Yuni kini bekerja di tiga orang majikan dengan penghasilan kira-kira Rp5 juta per bulan.
Yuni lalu mendapat penugasan dari organisasinya, Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi, untuk menjadi caleg melalui Partai Buruh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.