Kamis, 2 Oktober 2025

Mengapa Arab Saudi dan Iran Pilih Gabung ke Blok China Cs, Bukan Kubu Amerika Cs?

Pekan ini sebuah kabar dari Arab Saudi menjadi perhatian komunitas internasional.

Editor: Hasanudin Aco
NICOLAS ASFOURI / AFP
Raja Saudi Salman bin Abdulaziz (kiri) berdiri bersama Presiden China Xi Jinping (kanan) dalam upacara penyambutan di Aula Besar Rakyat di Beijing pada 16 Maret 2017. 

Menurut  IMF, BRICS yang diperluas kini melampaui G7.

G7 merupakan kelompok kerjasama informal negara-negara barat yang dimotori Amerika Serikat (AS) beranggotakan AS,Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis.

IMF mengatakan PDB BRICS kini mencakup 36 persen dari total PDB dunia.

Sejumlah analis mereka-reka mengapa Arab Saudi tidak bergabung dengan kelompok G7.

Masuknya Arab Saudi ini bersamaan dengan terjadinya ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China serta perluasan pengaruh Cina ke Arab Saudi.

Kendati hubungan yang kuat dengan AS terus berlanjut, Arab Saudi terlihat semakin mengatur arah negaranya sendiri lantaran kekhawatiran bahwa AS kurang berkomitmen terhadap keamanan di wilayah strategis antara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Peneliti di Rice University Baker Institute, Jim Krane, melihat kerenggangan hubungan Arab Saudi-AS semakin nyata ketika ada pengabaian oleh Arab Saudi dalam sektor minyak.

"Kami melihat Saudi mengabaikan kepentingan AS di beberapa bidang: kemitraan pasar minyak Saudi-Rusia, dalam hubungan Riyadh yang semakin erat dengan China, dan dalam serentetan penolakan kerajaan untuk meningkatkan produksi minyak ketika Washington memintanya," ujarnya.

Krane juga melihat bahwa hubungan Arab Saudi justru semakin erat dengan China ketika Presiden China, Xi Jinping disambut dengan meriah pada Desember 2023 lalu.

Sementara di sisi lain, pertemuan dengan Presiden AS, Joe Biden, justru batal terealisasi.

Padahal, sambungnya, pertemuan Arab Saudi dan AS demi meyakinkan Arab Saudi untuk meningkatkan produksi minyak dan dikirim ke Negeri Paman Sam demi menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Krane mengungkapkan bahwa kekhawatiran terbesar AS adalah ketika penetapan harga minyak bukan dikonversikan dalam mata uang dolar AS tetapi ke mata uang BRICS, renminbi.

"China telah menekan Arab Saudi untuk menetapkan harga minyak dalam renminbi selama beberapa waktu," ujarnya.

"Pemerintahan Biden sedang mengejar masah ini dalam kerangka kerja Abraham Accords. Jadi kerajaan (Arab Saudi) ini tampaknya berada dalam posisi yang membuat iri untuk "menyeimbangkan" antara Beijing dan Washington, mengikuti pihak mana pun yang menawarkan hadiah terbesar," sambung Krane.

Mengapa Indonesia Tidak Gabung?

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved