Minggu, 5 Oktober 2025

Perang Israel-Gaza: Harga perdamaian bagi Israel dan Palestina

Dengan puluhan ribu orang sudah menjadi korban perang antara Israel dan Palestina, banyak pula yang menyuarakan perdamaian sebagai…

BBC Indonesia
Perang Israel-Gaza: Harga perdamaian bagi Israel dan Palestina 

Satu hal yang konstan dalam karir politik Netanyahu yang panjang adalah penolakannya terhadap negara Palestina merdeka yang berusaha dan gagal diproduksi oleh Oslo.

Kemenangan total dan penyerahan tanpa syarat dari siapa pun yang masih hidup dari Hamas tetap menjadi tujuan Israel. Netanyahu percaya memusnahkan Hamas adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan para sandera.

Beberapa jam sebelum Biden mengatakan pemboman Israel tidak pandang bulu, Netanyahu menyiarkan pidatonya.

"Saya tidak akan membiarkan Israel mengulangi kesalahan Oslo," katanya. "Setelah pengorbanan besar warga sipil dan tentara kami, saya tidak akan mengizinkan mereka masuk ke Gaza.

“Mereka yang mengajarkan terorisme, mendukung terorisme dan membiayai terorisme. Gaza tidak akan menjadi Hamastan ataupun Fatahstan."

Fatahstan adalah istilah yang menghina Otoritas Palestina, saingan Hamas, yang mengakui Israel dan bekerja sama dengan Israel dalam hal keamanan.

Politik dalam negeri Israel juga termasuk dalam perhitungan Netanyahu. Jajak pendapat menunjukkan banyak orang Israel menyalahkan Netanyahu atas kegagalan intelijen dan keamanan yang memungkinkan Hamas masuk Israel dengan serangan besar.

Dengan menguatkan sikap oposisinya terhadap penentuan nasib sendiri Palestina, Netanyahu berusaha mendapatkan kembali kepercayaan dari para nasionalis Yahudi sayap kanan yang mendukung pemerintahannya.

Yonatan Zeigen, putra dari juru kampanye perdamaian yang terbunuh Vivian Silver, mengatakan ibunya akan patah hati jika melihat perang yang terjadi. Ia percaya bahwa perang hanya menyebabkan lebih banyak perang.

"Saya pikir dia akan mengatakan tidak dengan nama saya' ... Perang, jika kita tidak terlalu naif, seharusnya menjadi sarana, bukan? Tapi rasanya perang ini memiliki tujuannya sendiri, balas dendam."

Yonatan melihat potensi kesempatan baru, untuk memasukan perdamaian kembali ke dalam agenda politik Israel.

Pegiat kampanye perdamaian cukup menonjol di Israel, hingga mereka didiskreditkan akibat pemberontakan bersenjata Palestina pecah setelah proses Oslo runtuh pada 2000.

Setelah kejadian itu, perdamaian dengan Palestina lenyap dari arus utama politik Israel. Yonatan berharap perdamaian dapat kembali diprioritaskan.

"Tentu saja. Anda bahkan tidak bisa mengucapkan kata itu [perdamaian]. Dan sekarang orang-orang membicarakannya."

Issa Amro, aktivis Palestina di Hebron, mengatakan kepada saya bahwa hidup menjadi jauh lebih sulit bagi warga Palestina sejak 7 Oktober.

"Itu menjadi jauh lebih buruk. Sepuluh kali lebih buruk. Lebih banyak pembatasan [gerak]. Lebih banyak kekerasan. Lebih banyak intimidasi. Orang tidak merasa aman sama sekali.

“Orang tidak punya makanan cukup untuk dikonsumsi. Orang tidak bisa memiliki kehidupan sosial. Tidak ada sekolah, tidak ada taman kanak-kanak, tidak ada pekerjaan. Ini adalah hukuman kolektif di dalam area yang sangat dibatasi."

Issa beradu mulut dengan sekelompok tentara Israel saat kami berjalan bersamanya melalui pusat Hebron.

Salah satu dari mereka, dengan perlengkapan tempur yang mencakup senapan serbu dan pistol besar di sarungnya.

Ia mengenakan topeng hitam yang hanya memperlihatkan matanya, mendengarkan ketika Issa mengatakan bahwa perdamaian adalah satu-satunya jalan ke depan karena tidak ada solusi militer untuk konflik.

Tentara itu tidak mau menyebutkan namanya ketika dia ikut dalam percakapan.

"Anda tidak tahu bagaimana rasanya dibesarkan di Israel dengan tetangga seperti mereka," katanya.

"Hak LGBT [dirampas], mereka memukuli perempuan, saya melihatnya dengan mata saya sendiri. Ya. Mereka membunuh anak perempuan jika mereka selingkuh dengan seseorang yang tidak mereka sukai. Mereka [Palestina] kejam.

“Saya mengenal mereka, saya tinggal bersama mereka. Mereka tidak ingin berdamai ... Mereka membenciku. Saya bisa merasakannya. Saya tahu semua hal yang mereka katakan. Saya tidak berbicara dengan mereka."

Masa depan yang damai, negara Palestina merdeka bersama dengan Israel yang aman adalah hal yang diinginkan Amerika, Inggris dan banyak negara lain.

Namun, itu tidak akan terwujud tanpa kemauan dan tekad diplomatik dan politik yang berkelanjutan.

Perjanjian Oslo, negosiasi antara Palestina dan Israel yang ditengahi oleh Amerika, berakhir dengan kegagalan.

Jika ada kesempatan berikutnya, satu gagasan yang disebutkan oleh diplomat senior Barat adalah menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai bagian penting dari paket perubahan yang lebih luas di Timur Tengah.

Israel akan ditawarkan hadiah berupa pengakuan dari Arab Saudi, jika mereka membuat konsesi yang diperlukan untuk kemerdekaan Palestina.

Yordania dan Mesir akan memiliki peran penting, sebagai negara yang berhasil membuat perdamaian abadi dengan Israel.

Pihak yang tidak kalah adalah Qatar dan Uni Emirat Arab, dan negara-negara Teluk yang sangat kaya.

Arab Saudi, khususnya, membutuhkan perdamaian di Timur Tengah karena mereka menghabiskan ratusan miliar untuk membangun diri sebagai pemain global.

Petunjuknya sudah ada. Dua puluh tahun yang lalu, rencana perdamaian Saudi menawarkan Israel pengakuan penuh dan perdamaian dengan negara-negara Arab, dengan imbalan negara Palestina dibuat layak dan berdaulat di Gaza dan Tepi Barat, dengan ibukota di Yerusalem Timur.

Perjanjian itu dapat diluncurkan kembali dengan memperluas Perjanjian Abraham antara Israel dan beberapa negara Arab, tetapi menambahkan syarat negara Palestina merdeka.

Memang itu ide ambisius, yang tidak mungkin terjadi tanpa pemimpin Israel dan pemimpin Palestina yang percaya pada proyek tersebut.

Amerika dapat menengahi, meskipun mereka harus adil, sesuatu yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.

Kedua belah pihak harus siap berkompromi dengan mengorbankan keyakinan berharga yang dipegang masing-masing, terutama mengenai wilayah.

Badai politik akan melanda para pemimpin yang siap mengambil risiko untuk berdamai.

Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dibunuh oleh seorang ekstremis Yahudi pada 1995 ketika ia mencoba untuk berdamai dengan Palestina. Seorang ekstremis Islam membunuh Presiden Mesir Anwar Sadat karena ia berdamai dengan Israel.

Bagaimanapun, perang di Gaza harus berakhir sesegera mungkin. Jika merambat lebih jauh, skenario terburuk dapat berupa warga Palestina yang hilang harapan melintasi perbatasan Mesir ketika tank-tank Israel mendekat.

Kemudian, akan terjadi eskalasi perang skala besar dari pertukaran lintas batas saat ini antara Israel dan kelompok milisi Lebanon, Hizbullah.

Begitu banyak yang harus dilakukan agar ada kesempatan untuk perdamaian. Banyak kesalahan yang sudah terjadi sehingga perdamaian terasa hampir tidak mungkin.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved