Membuat Antibodi di Negeri Orang: Menyasar Sel Kanker dan Opioid
Obat dan terapi penyakit berat seperti kanker kerap kurang menolong. Monica Chandra menekuni biologi sel dan molekuler, Ia bekerja…
Antibodi yang dibuat oleh perusahaan start upnya menarget hal-hal yang berukuran kecil. Produk pertama mereka yang masih dibuat adalah atibodi yang menyasar opioid, atau zat yang mengandung opium, yang bernama Fentanil. Monica memaparkan pula, ketergantungan pada heroin meningkat di mana-mana. Dan heroin biasanya dicampurkan dengan Fentanil, karena Fentanil seribu kali lebih kuat daripada heroin.
Karena konsumennya kerap tidak tahu bahwa heroin mendapat campuran Fentanil, mereka meninggal karena overdosis. Monica menjelaskan, biasanya penderita overdosis mendapat suntikan Nalokson untuk menghalangi efek overdosis. Sayangnya, pengaruh Nalokson tidak bertahan lama di tubuh. Saat itu terjadi, Fentanil kerap tetap masih ada di tubuh. Sehingga, beberapa jam setelah suntikan Nalokson diberikan, penderita bisa mengalami overdosis lagi.
Produk pertama dari start up tempatnya bekerja ditujukan menyasar benda berukuran sangat kecil, dan bekerja seperti spons, demikian dijelaskan Monica. Jadi antibodi itu bisa menyerap Fentanil, sehingga penderita tidak mengalami overdosis lagi.
Tapi dia menekankan pula, bahwa dalam pengembangan antibodi ini, perusahaannya masih dalam tahap praklinis. Sehingga ada hal-hal yang belum mereka ketahui, karena masih dalam tahap eksperimen.
Selain antibodi yang menyasar opioid, start up tempat dia bekerja juga membuat antibodi yang menarget sel-sel kanker. Monica menjelaskan, sel-sel kanker boleh dibilang sama dengan sel tubuh kita sendiri, meskipun punya beberapa perbedaan. Ada perbedaan yang terlalu kecil untuk bisa dideteksi sehingga luput dari sistem kekebalan tubuh kita. Itulah yang disasar oleh antibodi yang sedang dibuat perusahaannya.
Setelah antibodi selesai diracik dan menjalani uji coba termasuk pada manusia, antibodi tersebut akan dilisensikan ke perusahaan farmasi. Monica mengambil contoh, misalnya Pfizer, atau perusahaan besar lainnya. "Karena start up yang masih kecil [seperti tempat dia bekerja] tidak punya infrastrukturnya untuk produksi dalam jumlah besar."
Di perusahaan itu, ia menjadi salah seorang pemimpin tim yang meracik-racik antibodi. Sebelum antibodi diinjeksikan ke hewan untuk uji coba, ia yang membuat materi yang akan diinjeksikan, demikian dijelaskan Monica.
Monica mengaku tidak terpikir akan bekerja di Indonesia setelah selesai S3. "Untuk bidang yang saya tekuni, Indonesia untuk basic research [riset dasar] masih kurang." Dia menambahkan, untuk riset lain yang lebih merupakan applied research atau riset terapan, seperti pertanian, di Indonesia sudah lebih banyak.
Dia bercerita seorang temannya yang dulu sama-sama berkuliah S3, kini kembali ke Indonesia dan menjadi dosen. Temannya itu mengatakan, untuk penelitian kadang sulit karena masalah birokrasi. Selain itu, untuk mendapat reagen-reagen kadang juga sulit.
"Orang Jerman itu direct banget, sih"
Ketika belum lama berada di Jerman, ia kerap merasakan syok karena cara bicara orang Jerman yang ia rasa sangat direct, atau langsung, apa adanya, sementara orang Amerika sangat berbeda. "Engga, kalo orang Amerika itu beneran di-sugarcoat [ibaratnya dilapisi gula]," kata Monica sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kalau orang Amerika itu meskipun kerjaannya ga bener ngomongnya masih, 'It's good but you can improve,' [Bagus, tapi masih bisa diperbaiki]." Sedangkan orang Jerman: "Ah, apa ini?! Ga bener! Do it again! [ulang lagi!]"
Awalnya, ketika pertama kali mendapat jawaban keras dari pengajar, ia merasa agak takut. Untungnya, orang itu menyadari bahwa Monica orang Asia. Jadi berasal dari kebudayaan lain. Orang itu akhirnya meminta maaf dan menjelaskan, bahwa mengatakan langsung apa yang tidak disukai memang sudah jadi kebiasaan. Sejak itu, menurut Monica, ia tidak merasa tersinggung lagi.
Dalam hidup sehari-hari, yang ia rasakan sebagai tantangan adalah birokrasi di Jerman. Terutama ketika ia belum lama tinggal di Jerman. Ia mengambil contoh di Ausländerbehörde atau kantor urusan orang asing. Awalnya, Monica mengira, orang yang bekerja di sana bisa berbahasa Inggris, tapi kenyataannya tidak demikian. "Jadi pusing lah, ama birokrasi-birokrasi ini," kata Monica sambil tertawa.
Dia juga dulu sering merasa orang Jerman tidak ramah. "Kok cembetut semua," katanya dengan heran. "Kalau di Amerika, sama kasir aja bisa ngobrol. Di Jerman, masuk Aldi [salah satu supermarket di Jerman] langsung rasanya ekspres semua," katanya sambil tertawa lagi.
Tapi dibanding dengan di Indonesia, dia merasa di Jerman ia bebas mengutarakan pendapatnya. Orang Jerman bagi dia sangat terbuka dalam menanggapi orang lain yang punya pemikiran berbeda. Orang Jerman juga lebih bersedia mendengarkan pendapat orang yang lebih muda. Dia mengungkapkan, di AS, dulu dia merasa orang lebih terbuka dengan pendapat yang berbeda. Sebaliknya, sejak masa kepresidenan Donald Trump, orang cenderung lebih berhati-hati dalam mengungkapkan pendapat politik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.