Membuat Antibodi di Negeri Orang: Menyasar Sel Kanker dan Opioid
Obat dan terapi penyakit berat seperti kanker kerap kurang menolong. Monica Chandra menekuni biologi sel dan molekuler, Ia bekerja…
"Saya biasanya mulai kerja jam 10 gitu," katanya. Kalau bekerja tidak bisa dari rumah, katanya lagi. "Karena masih butuh eksperimen dan lain-lain, jadi ga bisa kerja dari rumah." Ia sekarang bekerja pada sebuah perusahaan start up, di Heidelberg, yang terutama bergerak di bidang pembuatan antibodi untuk terapi kanker dan ketergantungan pada narkotika.
Monica Chandra lahir di Surabaya. Ia tidak pernah berkuliah di Indonesia. Kuliah S1 ia tempuh di Amerika Serikat, tepatnya di University of California, Berkeley. Sedangkan S2 dan S3 ia tempuh di Universitas Heidelberg, di Jerman Selatan.
Mulai S1 sampai S3 dia sudah menggeluti bidang molecular and cell biology atau biologi sel dan molekuler. Monica bercerita, sejak SMA dia memang sudah sangat menggemari pelajaran biologi. "Kebetulan guru saja itu, dari kelas satu, dua, tiga, ok-ok semua," katanya sambil tersenyum. Di AS, dia memutuskan untuk menggeluti biologi sel dan molekuler, dan kesenangannya itu semakin terpupuk karena di sana ia tidak hanya belajar teori saja, melainkan juga ada prakteknya. Akhirnya bidang itu ia geluti hingga sekarang.
Dia berkuliah S1 di AS karena punya kerabat di sana. Selain itu, sejak kecil ia sudah les bahasa Inggris, jadi kesulitan bahasa tampaknya bisa teratasi. Ketika menempuh kuliah S1 di sana selama empat tahun, dia mendapat partial schollarship, atau beasiswa tidak penuh, dari sebuah institusi. Setelah selesai berkuliah, ia bekerja pada Johns-Hopkins University di Baltimore, Amerika Serikat.
Tapi karena memang ingin melanjutkan sekolah lagi, ia berbincang-bincang dengan temannya ketika SMA. Kebetulan temannya itu memang sudah tinggal di Jerman dan berkuliah di Universitas Aachen. Dialah yang menganjurkan Monica agar melanjutkan kuliah di Jerman, tepatnya di negara bagian Baden Württemberg. "Waktu itu Baden Würrtemberg masih free [maksudnya: mahasiswa tidak dituntut bayar biaya kuliah]," katanya dan menambahkan, "kalau sekarang harus bayar."
Supervisor atau pembimbingya di laboratorium di AS juga orang Jerman. Ia yang menyarankan Monica untuk mengirimkan lamaran ke Universitas Heidelberg. Setelah berbincang-bincang dengan profesor di Heidelberg, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan S2 di Heidelberg.
Ditambah lagi, dia pernah punya impian untuk mengelilingi Eropa sebelum umur 30 tahun. "Tapi ga sempet," katanya sambil tertawa, "jadinya ya udah sekalian pindah aja." Saat itu dia belum pernah ke Eropa sama sekali. "Jadi kaya' bondho nekat [modal nekat] gitu, kalo orang Surabaya bilang," jelasnya sambil tertawa.
Tapi dia sempat belajar bahasa Jerman selama tiga bulan di Indonesia. Setelah berhenti bekerja di Johns Hopkins University, dia tidak ingin tinggal di AS karena perlu biaya, sementara kuliah di Heidelberg baru mulai beberapa bulan kemudian. Jadi dia memutuskan untuk pulang ke Surabaya dan belajar bahasa Jerman secara intensif. Namun demikian setelah tiba di Jerman, dia masih harus belajar bahasa Jerman lagi.
Tapi untuk mahasiswa ada keringanan untuk membayar les bahasa Jerman, begitu dijelaskan Monica. Ketika melamar, interview dan mengurus kuliah di Heidelberg, semuanya masih menggunakan bahasa Inggris. "Kapan hari baru lulus B2," katanya, jadi dia merasa bahasa Jermannya belum terlalu hebat.
Ketika berkuliah S2 di Heidelberg, dia juga sempat bekerja sampingan di klinik universitas, sebagai research assistant, atau asisten riset. "Jadi ga terlalu membebani orang tua," katanya. Sedangkan ketika berkuliah S3, dari tahun 2017 sampai 2021, ia dan rekan-rekannya mengadakan penelitian sambil bekerja, jadi mereka sudah mendapat pemasukan.
Monica menjelaskan, berbeda dengan di Jerman, di AS seorang mahasiswa tidak bisa bekerja di luar kampus. Jadi hanya bisa, misalnya, bekerja di perpustakaan, atau menjadi asisten dosen. Dulu, ia bekerja sampingan sebagai asisten dosen.
Membuat antibodi di negeri orang
Monica menjelaskan, dia lumayan beruntung ketika mendapat pekerjaan di perusahaan tempat dia bekerja sekarang. "Waktu itu pas banget, profesor yang mengajar aku waktu Ph.D. lagi punya proyek. Dia menjoinkan [menggabungkan] beberapa scientist [ilmuwan] untuk mendirikan start up ini."
Bidang perusahaan itu sangat khusus, sehingga tidak banyak orang yang bisa terlibat. Dia menjelaskan pula, berbeda dengan di AS, di mana dana yang menyokong sebuah perusahaan start up biasanya besar, di Jerman tidak demikian. "Jadi mereka ga bisa afford [tidak mampu menanggung risiko] untuk, misalnya hire [mempekerjakan] orang baru, atau training [melatih] orang baru. Jadi harus lebih cepat dapat hasilnya, begitu."
Ditambah lagi, penelitiannya ketika itu memang masih berkaitan dengan bidang start up. Sehingga dia langsung direkrut untuk bekerja, demikian diungkapkan Monica.
Dia menjelaskan, perusahaan membuat antibodi, tepatnya therapeutic antibody, atau antibodi untuk kebutuhan terapi. Yang jadi target antibodi adalah hal-hal yang ukurannya sangat kecil sehinga tidak kasat mata. Dia mengambil contoh, "Misalnya tubuh kita diserang benda, yang misalnya segede batu, pasti sistem pertahanan tubuh kita pasti bisa melihatnya." Tapi banyak hal yang menyerang tubuh kita, ukurannya sangat kecil. Karena sulit dilihat, tubuh juga sulit untuk memberikan respons yang spesifik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.