25 Tahun Reformasi: Konflik Internal Militer dan Gerakan Mahasiswa
Hampir semua peristiwa besar di tanah air tidak bisa dipisahkan dari konflik internal militer, termasuk Gerakan Reformasi 1998. Kini,…
Gerakan Reformasi 1998, yang berujung lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, merupakan "kolaborasi” dari dua gerakan atau medium, yakni konflik internal militer dan gerakan mahasiswa, yang di antara keduanya bisa jadi tidak terhubung secara langsung.
Sebagaimana peristiwa-peristiwa sebelumnya, semisal gerakan mahasiswa 1966 dan Peristiwa Malari (1974), yang selama ini selalu diklaim sebagai capaian aktivis gerakan mahasiswa, juga diwarnai konflik militer, bahkan sejatinya (konflik itu) lebih signifikan. Seiring berjalannya waktu, posisi konflik militer terkait peristiwa mulai dilupakan publik, sementara di saat yang sama, para tokoh gerakan mahasiswa sangat menikmati posisinya sebagai figur publik jauh hari selepas peristiwa.
Kita lihat saja pada Reformasi 1998, yang sangat kental diwarnai oleh konflik antara Jenderal Wiranto (Akmil 1968, Pangab saat itu) dan Letjen Prabowo Subianto (Akmil 1974, Pangkostrad), dua figur militer yang saat itu sama-sama dekat dengan Soeharto. Singkatnya, konflik saat itu sebenarnya segi tiga: kubu Wiranto, kubu Prabowo dan kubu Benny Moerdani.
Namun sebagaimana dijelaskan sebelumnya, konflik internal militer segera dilupakan publik, itu karena tiga pihak yang berkonflik pada tahun 1998 lalu, hari ini terlihat solid dan saling bahu-membahu membantu Presiden Joko Widodo, bahkan figur yang dianggap representasi kubu Benny Moerdani, yakni Luhut Binsar Panjaitan, secara karikatural dianggap sebagai presiden bayangan. Elite militer ini seolah tidak mempedulikan lagi konflik mereka pada tahun 1998, artinya tidak peduli juga ketika konflik mereka hampir membakar Jakarta, dan memakan sejumlah korban rakyat biasa.
Tentu beda situasinya dengan tokoh gerakan mahasiswa, yang selalu "memaksa” publik agar selalu ingat pada peran mereka pada 1998, sebagai modal sosial menuju kekuasaan atau kesejahteraan. Ironisnya, ketika memburu kekuasaan dan kesejahteraan ini, aktivis mahasiswa 1998 berjalan sendiri-sendiri, tidak ada jejak soliditas seperti saat berjuang dulu. Bandingkan dengan elite militer, seperti Prabowo, Wiranto dan Luhut Panjaitan, yang justru saling jabat erat, setidaknya saat diambil gambarnya oleh pewarta foto.
Mencari jejak gerakan mahasiswa
Dua isu besar yang diklaim sebagai hasil reformasi adalah dihapuskannya doktrin Dwifungsi ABRI (TNI) dan pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Publik bisa melihat sendiri bagaimana capaiannya, secara umum tidak ada yang sesuai harapan, alias datar-datar saja.
Doktrin Dwifungsi memang secara resmi sudah dihapuskan, namun posisi militer secara politik masih kuat. Sungguh di luar imajinasi gerakan civil society, adanya realitas ketika begitu ramahnya otoritas sipil terhadap TNI. Nyaris semua kehendak TNI, dikabulkan. Sebagaimana wacana baru-baru ini, ketika Kodam akan dibentuk setiap provinsi, ini berlawanan dengan aspirasi masyarakat sipil dulu, agar keberadaan atau peran koter (komando teritorial) dibatasi, namun kini justru diperluas.
Belum lagi dalam soal kepangkatan, telah diterbitkan regulasi tentang validasi organisasi, ketika pangkat pimpinan sejumlah satuan, diberikan pangkat setingkat lebih tinggi. Semisal untuk posisi danrem, yang sebelumnya dipimpin perwira berpangkat kolonel, kini menjadi pos brigjen. Berkat kelonggaran otoritas sipil, atau mungkin posisi tawar (otoritas sipil) memang lemah, ada kemudahan bagi perwira TNI untuk masuk strata pati (perwira tinggi), tanpa pernah ada kekhawatiran soal kemungkinan "inflasi jenderal” di kemudian hari. Biarlah ini menjadi bahan pemikiran pimpinan TNI sendiri, mengingat berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, militer kurang peduli terhadap masukan kelompok sipil.
Bila kita telusuri lebih dalam, tentu ada juga dampak positifnya, bagaimana citra TNI tidak lagi sesangar di masa lalu, baik saat rezim Soeharto maupun rezim Sukarno. Kini kita tidak pernah mendengar lagi ungkapan keras semacam "tak gebuk” (Soeharto) atau "libas” (Jenderal Feisal Tanjung).
Hal ini bisa dihubungkan dengan peristiwa baru-baru ini di Kota Malang (Jatim), dalam sebuah diskusi membahas biografi sejarawan Ong Hok Ham. Selain membahas figur publik populer, mengingat Ong Hok Ham lebih dikenal sebagai pakar kuliner dan perilakunya cenderung nyentrik, interior café yang menjadi lokasi, juga mencuri perhatian sejumlah peserta. Di salah satu pojok dinding, terdapat lukisan atau gambar Karl Marx, yang mustahil dipasang di masa lalu. Ini juga bisa dianggap capaian penting dari semangat reformasi 1998, utamanya dalam aspek kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Seorang teman di Malang, dengan nada santai mengatakan, di manapun di dunia ini, yang dilarang hanya berbuat kriminal, sementara pemikiran seseorang tidak bisa dilarang, terlebih hanya sekadar memasang gambar tokoh. Bisa jadi, pengelola café memasang gambar Karl Marx atau tokoh yang lain, lebih karena alasan estetika, tidak ada maksud apa-apa.
Klaim capaiannya berikutnya soal KKN, utamanya soal korupsi, kita bisa melihat sendiri, bagaimana para koruptor yang ditangkap KPK masih bisa tersenyum dan memberi tanda jempol, dalam kondisi tangan terborgol. Korupsi tentu sulit diberantas, karena itu adalah bagian dari ciri kekuasaan.
Para elite politik dan pemerintahan saling berlomba-lomba memamerkan barang branded yang menempel di tubuhnya, termasuk tas dipakai istrinya, dan jeep rubicon bagi anaknya. Masakan sederhana andalan rakyat bawah, yakni sayur lodeh, hanya dijadikan sekadar gimmick untuk memperpanjang kekuasaan. Lalu apa yang bisa dibanggakan dari perkembangan seperti ini? Reformasi seolah sedang menyusuri lorong gelap.
Bersiap masuk kabinet
Bila Generasi 98, agak kesulitan menorehkan jejak bagi rakyat, kini sudah tersedia ruang lain yang mungkin lebih memberi kepastian dalam menancapkan jejaknya, termasuk dalam kesejahteraan pribadi, yakni bergabung dengan kekuasaan. Setelah seperempat abad, rasanya sudah tiba waktunya bagi Generasi 98 untuk tampil di level lebih tinggi dengan masuk kabinet pada pemerintahan mendatang, siapa pun yang berkuasa nanti.
Bila kita bandingkan dengan Generasi 66, tampilnya Generasi 98 terhitung terlambat. Pada tahun 1978, Abdul Gafur sebagai eksponen Generasi 66 sudah masuk kabinet sebagai Menteri Pemuda (setara Menpora sekarang). Jadi hanya butuh waktu 12 tahun untuk masuk lingkaran dalam kekuasaan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.