Selasa, 7 Oktober 2025
Deutsche Welle

25 Tahun Reformasi: Konflik Internal Militer dan Gerakan Mahasiswa

Hampir semua peristiwa besar di tanah air tidak bisa dipisahkan dari konflik internal militer, termasuk Gerakan Reformasi 1998. Kini,…

Seandainya pergerakan mahasiswa dalam ikhtiarnya menumbangkan sebuah rezim merupakan sebuah "hutang budi”, maka rezim berikutnya, yang kemunculannya banyak dibantu gerakan mahasiswa, menjadi wajib untuk "balas budi”. Skema "balas budi” sudah ditunjukkan rezim Jokowi ketika memberi posisi menteri kepeda eksponen Generasi 1980-an, seperti Teten Masduki dan Pramono Anung, termasuk jabatan komisaris BUMN kepada sejumlah mantan aktivis.

Dengan begitu rezim Jokowi, sejatinya sudah tidak memiliki "hutang” kepada generasi aktivis 1980-an dan berikutnya. Fase berikutnya adalah giliran Generasi 98 yang bakal mewarnai panggung politik nasional.

Dalam pembentukan kabinet, sejak Orde Baru hingga sekarang, selalu ada tempat bagi mantan aktivis pergerakan mahasiswa. Nama-nama seperti Abdul Gafur, Mar'ie Muhammad, Sarwono Kusumaataja, Jusman Syafii Djamal, Rizal Ramli, Teten Masduki, dan seterusnya, adalahmantan aktivis, yang juga memiliki kompetensi secara keilmuan, sehingga memang layak untuk menempati posisi menteri. Tentu yang paling istimewa adalah Mar'ie Muhammad, yang pernah menjadi Menteri Keuangan, posisi yang sangat jarang dipegang mantan aktivis, mengingat persyaratan kompetensi keilmuannya sangat tinggi.

Selama ini ada kementerian yang sedikit "longgar” dalam kompetensi teknis bagi calon menterinya, seperti Menaker, Menpora, Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi, Mensekab, atau KSP, sehingga acapkali dialokasikan bagi mantan aktivis gerakan mahasiswa. Berbeda dengan Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), yang calon menterinya harus benar-benar kompeten serta kredibel, sesuai lingkup kelembagaan yang dipimpinnya.

Dari sekian generasi gerakan mahasiswa, Generasi 66 termasuk generasi yang beruntung, sebab durasi perjuangannya relatif cepat, dan cepat pula menuai hasil. Bila awal perjuangan Generasi 66 dihitung sejak lahirnya Tritura (tri tuntutan rakyat) tangal 10 Januari 1966, dua bulan kemudian generasi ini sudah mencapai kesuksesan, ditandai dengan lahirnya Supersemar, 11 Maret 1966, tonggak bagi berkuasanya Jenderal Soeharto.

Beda dengan generasi sesudahnya, yakni Generasi 74, Generasi 78, dan seterusnya, yang kemunculannya berdasar sikap perlawanan terhadap rezim yang sedang berkuasa. Menjadikan rentang waktu perjuangan mereka juga menjadi lebih lama. Ketika Soeharto benar-benar jatuh pada 1998, figur seperti Hariman Siregar atau Indro Tjahjono (Gerakan 1978), seolah telah kehilangan momentum untuk menjadi pejabat publik, mengingat termasuk senior dari segi usia.

Demikian juga dengan Generasi 98, kalau benar perkiraan di antara mereka akan masuk kabinet pada tahun 2024, berarti ada penantian sekitar tahun 26 tahun. Menjadi menteri pada kabinet yang akan datang adalah hak sejarah Generasi 98, bila ukurannya adalah "keringat dan darah” dalam perjuangan. Kalau Generasi 66, yang tidak begitu berkeringat saja, bisa mendudukan eksponennya berkali-kali dalam kabinet, tentu Generasi 98 lebih pantas lagi, dan alokasinya harus lebih banyak.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.

Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved