Gempa di Afghanistan
Gempa Afghanistan Tewaskan 1.150 Orang, Termasuk 155 Anak
Pemerintah Taliban menyebutkan bahwa sebanyak 1.150 orang tewas, termasuk 155 anak, akibat gempa bumi yang mengguncang Afghanistan minggu lalu.
Seperti warga desa lainnya, Abdullah kini tinggal bersama anggota keluarganya yang masih hidup di tenda darurat.
Abdul Rahman, putra Abdullah, kehilangan dua istri, seorang putra dan tiga putri dalam gempa tersebut.
Anak satu-satunya yang masih hidup baru berusia beberapa bulan.
"Anak kecil ini ditinggalkan sendirian. Siapa yang harus merawatnya?" katanya, sambil menggendong tubuhnya yang dibedong.
Tempat tidur gantung bayi, digantung di sudut rumah mereka yang hancur, bergoyang karena beratnya batu bata yang jatuh.
Gempa hari Rabu telah menjadi ujian bagi kemampuan Taliban untuk memerintah dan kesediaan masyarakat internasional untuk membantu.
Seperti diketahui, ketika Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan setelah Amerika Serikat (AS) dan sekutu NATO-nya menarik pasukan mereka Agustus lalu, bantuan asing hampir berhenti dalam semalam.
Pemerintah dunia menerapkan sanksi, menghentikan transfer bank dan membekukan miliaran lagi dalam cadangan mata uang Afghanistan, menolak untuk mengakui pemerintah Taliban dan menuntut mereka mengizinkan aturan yang lebih inklusif dan menghormati hak asasi manusia (HAM).
Sadar akan keterbatasan mereka, Taliban telah meminta bantuan asing.
PBB dan berbagai badan bantuan di negara yang telah berusaha untuk menjaga Afghanistan dari ambang kelaparan telah beraksi.
Baca juga: Korban Selamat Gempa Afghanistan Terancam Kelaparan dan Kolera, Taliban Minta Bantuan Internasional

Badan anak-anak PBB mengatakan pada hari Senin bahwa mereka bekerja untuk menyatukan kembali anak-anak yang telah terpisah dari keluarga mereka dalam kekacauan gempa.
Mereka juga telah mendirikan klinik untuk menawarkan kesehatan mental dan dukungan psikologis kepada anak-anak di Gayan yang trauma oleh bencana.
Tetapi badan-badan PBB menghadapi kekurangan dana sebesar $3 miliar tahun ini.
Pihak berwenang dan badan amal berjuang untuk mengakses wilayah yang jauh dan tampak kewalahan oleh skala kerusakan dan tugas berat untuk menghilangkan puing-puing, apalagi rekonstruksi.
Hal itu telah memaksa banyak orang di wilayah yang dilanda gempa untuk berjuang sendiri, bahkan ketika tanah bergemuruh dengan lebih banyak gempa susulan dan ketakutan akan bencana lebih lanjut muncul.
"Tetap saja ada gempa. Kami tidak bisa mendekati rumah kami," kata Abdullah.
"Setiap orang memiliki ketakutan. Wanita dan anak-anak berteriak di dalam tenda."
Baca juga artikel lain terkait Gempa di Afghanistan
(Tribunnews.com/Rica Agustina)