Konflik Rusia Vs Ukraina
Ukraina Marah, Presiden Prancis Minta Rusia Tak Dipermalukan Meski Sudah Menginvasi
Ukraina mengecam Presiden Prancis, Emmanuel Macron, karena menyarankan agar Rusia tidak dipermalukan walaupun telah melakukan invasi.
TRIBUNNEWS.COM - Ukraina mengecam Presiden Prancis, Emmanuel Macron, karena menyarankan agar Rusia tidak dipermalukan walaupun telah melakukan invasi.
Diketahui, Macron menyarankan demikian agar pintu diplomatik antara Barat dan Moskow tetap terjalin, setelah konflik berakhir.
Namun komentar Presiden Prancis ini memicu kemarahan Kyiv.
Dilansir Al Jazeera, Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba, mengatakan dengan blak-blakan bahwa komentar itu justru mempermalukan Prancis.
Baca juga: Presiden Prancis Emmanuel Macron Kritik Putin, Sebut soal Kesalahan Bersejarah untuk Rakyat
Baca juga: Kisah Pengacara Wanita Punya Nama Unik Sehuruf O, Terinsipirasi Kalahkan Rekor Nama Orang Prancis

Sejak awal invasi, Macron tetap menjaga komunikasi dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Presiden Macron sebelumnya mengatakan Putin telah membuat kesalahan bersejarah dan mendasar dalam menginvasi Ukraina.
Namun, ia menilai, penting untuk tidak mempermalukan Rusia sehingga saat konflik selesai, "kita dapat membangun jalan keluar melalui saluran diplomatik".
Macron mengatakan, peran Prancis adalah penengah dan menekankan bahwa pihaknya mengorbankan waktu dan energi untuk memastikan konflik tidak meningkat menjadi perang yang lebih luas.
"Saya telah kehilangan hitungan percakapan yang saya lakukan dengan Vladimir Putin sejak Desember," kata Macron.
Dalam cuitannya di Twitter, Menlu Ukraina menuliskan kritikan untuk Macron.
"Seruan untuk menghindari penghinaan terhadap Rusia hanya dapat mempermalukan Prancis dan setiap negara lain yang akan menyerukannya."
"Karena Rusia lah yang mempermalukan dirinya sendiri. Kita semua lebih baik fokus pada bagaimana menempatkan Rusia pada tempatnya. Ini akan membawa kedamaian dan menyelamatkan nyawa," tulis Kuleba.
Macron secara teratur bicara dengan Putin sejak invasi sebagai upaya mencapai gencatan senjata dan memulai negosiasi antara Kyiv dan Moskow.
Invasi Rusia ke Ukraina telah melampaui 100 hari, terhitung sejak 24 Februari 2022.
Pertempuran sengit terjadi di kota timur Severodonetsk.
Rusia telah menduduki sekitar seperlima wilayah Ukraina, di saat Kyiv menerima senjata yang lebih kuat dari Barat.
Terbaru, AS akan mengirimkan sistem roket HIMARS presisi yang mampu menembus pasukan Rusia dari jarak yang lebih jauh.
Prancis juga telah memasok senjata ofensif termasuk meriam howitzer Caesar yang diambil dari persediaan tentaranya.
Moskow mengibaratkan pasokan senjata Barat seperti "menuangkan bahan bakar ke api" dan tidak akan mengubah arah operasi militernya di Ukraina.
Putin, dalam komentar tentang keputusan AS mengirim senjata baru ke Ukraina, mengatakan Rusia dengan mudah mengatasi dan sudah menghancurkan senjata yang dipasok Amerika, lapor media pemerintah RIA, Sabtu (4/6/2022).
"Sistem anti-pesawat kami menghancurkannya seperti kacang. Puluhan telah hancur," kata Putin.
Meskipun jenis senjata yang dimaksud tidak jelas, Rusia mengatakan telah menghancurkan pesawat dan rudal yang diterjunkan oleh Ukraina.
Serangan Pertama di Kyiv
Sejumlah ledakan mengguncang Ibu Kota Ukraina, Kyiv pada Minggu (5/6/2022) pagi waktu setempat.
Ini merupakan serangan pertama di ibu kota dalam beberapa pekan.
"Beberapa ledakan di distrik Darnytskyi dan Dniprovskyi di ibu kota," tulis Wali Kota Kyiv, Vitali Klitschko di aplikasi pesan Telegram.
"Layanan sudah bekerja di lokasi."

Baca juga: Ledakan Guncang Ibu Kota Ukraina Kyiv, Serangan Pertama Sejak Berminggu-minggu
Baca juga: Kapal Pengangkut Ribuan Ton Logam Ukraina Dilaporkan Meninggalkan Pelabuhan Mariupol
Menurut laporan Reuters di lokasi, asap tampak membumbung di Kyiv setelah ledakan terjadi.
Klitschko mengatakan, satu orang dilarikan ke rumah sakit akibat insiden tersebut.
Tidak ada korban tewas yang dilaporkan.
"Saat ini tidak ada korban tewas akibat serangan rudal terhadap infrastruktur," kata Klitschko.
Wali Kota Brovary yang berjarak 20 km dari pusat Kyiv, mendesak warga tetap berada di dalam rumah karena ada laporan bau jelaga dari asap.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)