Konflik Rusia Vs Ukraina
PBB Mengklaim Punya Bukti Rusia Pakai Senjata Terlarang untuk Serang Pemukiman Ukraina
Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan pihaknya telah menerima 'laporan yang dapat dipercaya' terkait penggunaan senjata terlarang oleh pasukan Rusia
TRIBUNNEWS.COM - Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan pihaknya telah menerima 'laporan yang dapat dipercaya' terkait penggunaan senjata terlarang oleh pasukan Rusia di Ukraina.
Adapun senjata yang dimaksud yakni munisi tandan atau bom klaster.
Diketahui, senjata jenis ini telah dilarang di bawah Konvensi Munisi Tandan sejak 2010.
Laporan itu menyatakan bahwa pasukan Rusia menggunakan bom ini di wilayah berpenduduk di Ukraina.
PBB menyebut penggunaan senjata semacam ini secara sembarangan merupakan bentuk kejahatan perang.
Baca juga: PBB Sebut Lebih Dari 2,5 Juta Orang Telah Meninggalkan Ukraina
Baca juga: Pembicaraan Gencatan Senjata Rusia dan Ukraina di Turki Gagal Capai Kesepakatan

"Karena efek wilayahnya yang luas, penggunaan munisi tandan di daerah berpenduduk tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional yang mengatur perilaku permusuhan," kata juru bicara Liz Throssell kepada wartawan di Jenewa, Jumat (11/3/2022), dikutip dari Reuters.
"Kami mengingatkan pihak berwenang Rusia bahwa mengarahkan serangan terhadap warga sipil dan objek sipil, serta apa yang disebut pemboman daerah di kota-kota dan desa-desa dan bentuk lain dari serangan membabi buta, dilarang di bawah hukum internasional dan dapat dianggap sebagai kejahatan perang," tambahnya.
Bom tandan atau bom klaster adalah munisi yang dijatuhkan ke tanah dari udara dalam bentuk submunisi.
Bom ini digunakan untuk menghabisi personel musuk dan menghancurkan kendaraan.
Senjata submunisi didesain untuk merusak jalan, jalur listrik, pengantaran senjata kimia atau biologi, atau juga untuk menghancurkan ranjau.
Putin Mungkin akan Pakai Senjata Nuklir
Dubes Ukraina untuk Jepang, Sergiy Korsunsky, mengatakan ada kemungkinan Presiden Rusia Vladimir Putin bersedia menggunakan senjata nuklir untuk melawan Ukraina, Jumat (11/3/2022).
"Kami akan berjuang sampai akhir, kami tidak akan hidup di negara yang dikelola Rusia," ujar Korsunsky mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara.
"Tidak ada alasan untuk percaya bahwa dia (Putin) dapat mengancam kita, seperti yang dia pikirkan, kepada negara bahwa kita akan menggulingkan pemerintah kita dan kita akan merangkul Rusia setelah apa yang telah mereka lakukan terhadap kita. Tidak mungkin. Oleh karena itu dia dapat menggunakan senjata nuklir."
Akhir bulan lalu, Putin memerintahkan pasukan nuklir untuk siaga tinggi.
Ini merupakan respons atas pernyataan agresif pemimpin NATO dan sanksi ekonomi dari Barat.
Putin tidak secara langsung mengancam akan menggunakan senjata nuklir.

Tetapi, ketika mengumumkan operasi militer di Ukraina bulan lalu, dia sempat merujuk pada persenjataan nuklir Rusia yang kuat.
"Siapa pun yang mencoba menghalangi kami, harus tahu bahwa tanggapan Rusia akan segera. Dan itu akan membawa Anda ke konsekuensi yang tidak pernah terjadi dalam sejarahmu," ujar Putin saat itu.
Korsunsky mengatakan, Ukraina saat ini mengandalkan sekutunya untuk membantu menghindari segala jenis eskalasi.
"Kami mencoba bekerja dengan mitra kami, kekuatan nuklir utama yang tahu bagaimana memantau situasi senjata nuklir, dan yang dapat membantu kami untuk tidak membiarkan ini terjadi," katanya.
Moskow menyebut invasinya ke Ukraina sebagai 'operasi militer khusus'.
Rusia ingin melakukan 'demiliterisasi' dan 'denazifikasi' terhadap negara tetangganya yang pro-Barat, serta mencegah Kyiv bergabung dengan NATO.
Menlu Rusia Sebut Barat Gaungkan Perang Nuklir
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, tidak yakin bahwa konflik Ukraina akan berubah menjadi perang nuklir.
"Saya tidak ingin mempercayainya, dan saya tidak mempercayainya," ujar Lavrov kepada pers saat melakukan kunjungan ke Turki, Kamis (10/3/2022).
Menlu yang menjabat sejak 2004 ini justru menyebut wacana perang nuklir ini digaungkan Barat.

Baca juga: Ukraina Klaim Dibantu Sukarelawan Perang Barat, Rusia Izinkan Sukarelawan Perang dari Timur Tengah
Baca juga: Sniper Mematikan Kanada Bergabung dengan Militer Ukraina, Mampu Habisi Target dari Jarak 2 Mil
"Tentu saja itu membuat kita khawatir ketika Barat, seperti Freud, terus kembali dan kembali ke topik ini," kata Lavrov setelah pembicaraan di Antalya dengan mitranya dari Ukraina, Dmytro Kuleba.
Rusia dan Amerika Serikat memiliki persenjataan hulu ledak nuklir terbesar setelah Perang Dingin yang membagi dunia selama sebagian besar abad ke-20.
Perang Dingin secara tidak langsung mengadu dua kekuatan besar dunia, yakni Barat dan Uni Soviet serta sekutunya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)