Prancis Menarik Militernya dari Mali setelah Sembilan Tahun Perangi Teroris
Prancis akan menarik militer dari Mali setelah lebih dari sembilan tahun melancarkan operasi melawan terorisme di negara itu.
TRIBUNNEWS.COM - Prancis akan menarik militer dari Mali setelah lebih dari sembilan tahun melancarkan operasi melawan terorisme di negara itu.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengonfirmasinya pada Kamis (17/2/2022).
Ia menuduh pihak berwenang Mali mengabaikan perang melawan ekstremis dan menurutnya logis bagi Prancis untuk mundur.
"Saya sepenuhnya menolak istilah itu," jawab Macron saat ditanya apakah penarikan pasukan menandai kegagalan Prancis dan kebijakannya memerangi terorisme di Afrika barat.
Baca juga: Pengadaan Alutsista dari Prancis Termasuk Rafale Telah Ikutkan Industri Pertahanan Dalam Negeri
Baca juga: Bertemu Putin, Macron Tolak Tes PCR di Rusia Karena Takut DNA-nya Dicuri

Dilansir The Guardian, Prancis mulai mengerahkan pasukan melawan jihadis di Mali pada 2013 di bawah kepemimpinan Presiden François Hollande.
Intervensi dari negara Eropa ini berhasil membendung kemajuan pemberontak dan mengembalikan kota-kota utama seperti Timbuktu ke tangan pemerintah sipil.
Namun, kelompok ekstremis ini dengan cepat berkumpul dan kembali melakukan perlawanan.
Dalam beberapa tahun terakhir, para ekstremis mengambil alih sejumlah wilayah, mengeksploitasi gejolak politik, kemiskinan, dan kelemahan otoritas lokal.
Macron mengatakan pasukan Prancis akan tetap berada di wilayah itu, tetapi akan berbasis di negara tetangga, Niger.
Prancis akan tetap membantu negara-negara lain yang terdampak aktivitas para jihadis.
"Jantung dari operasi militer ini tidak lagi di Mali, tetapi di Niger dan mungkin dengan cara yang lebih seimbang di semua negara di kawasan yang menginginkan (bantuan) ini," katanya.
Niger juga bermasalah dengan aksi terorisme, seperti halnya Burkina Faso, di mana ribuan orang tewas dan lebih dari satu juta orang mengungsi dalam beberapa tahun terakhir.
Terlepas dari pernyataan Macron, pengamat melihat penarikan militer sebagai hal yang memalukan bagi misi luar negeri Prancis.
"Ini adalah akhir yang memalukan dari intervensi bersenjata yang dimulai dengan euforia dan yang berakhir, sembilan tahun kemudian, dengan latar belakang krisis antara Mali dan Prancis," tulis surat kabar harian Le Monde.
Sejak lama, para pembuat kebijakan di Paris dituding hanya fokus pada kekuatan militer dengan mengorbankan politik.