Kamis, 2 Oktober 2025
Deutsche Welle

Masa Depan Olimpiade Musim Dingin dan Krisis Iklim

Olimpiade Beijing jadi pelopor pengguna salju buatan. Peneliti mengatakan tren pemanasan global sebabkan acara itu tidak dapat terselenggarakan…

Cabang ski es dan seluncur salju akan dimulai pada 4 Februari di pegunungan dekat Beijing yang memiliki sedikit salju saat ini. Hal ini juga sempat jadi masalah saat kompetisi tahun 2014 di Sochi, Rusia.

Lereng gunung Yanqing dan Zhangjiakou nan tandus yang biasanya digunakan untuk ski, untuk pertama kalinya akan menggunakan salju buatan secara keseluruhan.

Namun meriam alat produksi salju tidak hanya boros energi, dia juga membutuhkan air dari jarak 30 KM, kata profesor hidrologi dari Universitas Strasbourg, Carmen De Jong yang tengah meneliti dampak lingkungan dari acara Olimpiade.

Pembuatan salju bukan faktor satu-satunya, dia menyebut Olimpiade ini "acara paling tidak ramah lingkungan sepanjang masa.” Menurutnya, erosi besar-besaran terjadi akibat jatuhan saat pembuatan jalur pada wilayah yang dilindungi, terlepas dari upaya penanaman pohon kembali dan fakta bahwa infrastruktur lain seperti jalanan dan tempat parkir sebagiannya "dibangun dari awal” menghasilkan hampir 10 juta ton CO 2, "perkiraan konservatif” ujarnya.

Komite Penyelenggara Beijing menjanjikan acara tersebut acara yang rendah karbon, dan energi terbarukan jika mungkin. Namun, saat turbin angin dan ladang panel solar sudah dibangun, De Jong mengatakan masih ada ketergantungan terhadap penyeimbangan karbon dan emisi.

Pemompaan air "bertekanan kuat” ke atas bukit untuk pembuatan salju di wilayah tandus belum termasuk dalamkalkulasi netralitas iklim, lanjut dia.

"Masalahnya, iklim Beijing tidak cocok untuk pembuatan salju,” kata De Jong. Debu yang diterbangkan angin kencang di daerah tandus, akan membuat jumlah salju yang dibutuhkan dua kali lipat dari pada yang ada di pegunungan di Eropa.

"Jadi mesin salju lebih lama beroperasi, serta lebih banyak air yang dibutuhkan dari rata-rata yang digunakan di Pegunungan Alpen,” lanjut De Jong.

Masalah ini diperparah dengan pindahnya acara Olimpiade ke wilayah Asia yang tandus serta minim air dan salju, karena sebagian wilayah potensial di Eropa dan Amerika utara tidak mengajukan diri akibat biaya dan dampak lingkungannya.

Pemanasan global ancam kelanjutan olah raga salju

Bergantung pada salju buatan bukan hal baru, Olimpiade Sochi 2014 dan Pyeongchang 2018 membutuhkan 80% dan 90% salju buatan. Sementara saat Olimpiade musim dingin di Vancouver 2010, helikopter diterjunkan untuk menumpahkan salju akibat cuaca yang terlalu hangat untuk membuat salju palsu.

Jika mesin pembuat salju menggunakan energi terbarukan, studi terbaru menunjukkan kegagalan untuk mengurangi secara signifikan gas emisi rumah kaca global, artinya hanya ada 1 dari 21 tuan rumah yang memenuhi syarat aman untuk menyelenggarakan Olimpiade pada 2100.

Sebaliknya, jika targetemisi Perjanjian Paris tercapai, jumlah negara penyelenggara yang iklimnya memenuhi syarat akan menjadi 8.

Studi ini dilakukan secara unik dengan menggabungkan permodelan iklim dengan tanggapan para atlet dalam keselamatan bermain ski di cuaca hangat. Bahkan dalam 30 tahun, dengan tren pemanasan saat ini akan mengakibatkan berkurangnya lokasi yang layak untuk Olimpiade.

"Jika emisi terus tinggi, pada pertengahan abad hanya akan tersisa 4 lokasi yang layak iklimnya,” kata Profesor Geografi dan Manajemen Lingkungan dari Universitas Waterloo, Pemimpin studi ini, Daniel Scott. Sementara hanya Sapporo, di Jepang yang menjadi satu-satunya lokasi layak pada akhir abad.

Halaman
12
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved