Salah Ucap Joe Biden Timbulkan Kekhawatiran di Cina dan Asia
Presiden Joe Biden menegaskan komitmen melindungi Taiwan jika Cina menyerang. Sikapnya melanggar doktrin ambiguitas strategis milik…
Pada Agustus lalu, stasiun televisi ABC bertanya kepada Presiden Amerika Serikat Joe Biden tentang laporan media Cina, yang merujuk pengambilalihan Afganistan oleh Taliban sebagai bukti bagi Taiwan, betapa Washington tidak bisa diandalkan.
Biden bersikeras apa yang terjadi di Afganistan tidak berhubungan dengan komitmen AS kepada Taiwan, Korea Selatan, dan NATO. "Kami membuat komitmen suci pada Pasal 5 [perjanjian NATO] bahwa jika, pada kenyataannya, ada orang yang menyerang atau mengambil tindakan terhadap sekutu NATO kami, kami akan merespons," kata Biden.
"Sama dengan Jepang, sama dengan Korea Selatan, sama dengan Taiwan," kata Biden.
Seorang pejabat pemerintahan AS mengklarifikasi, seraya mengatakan "kebijakan AS berkaitan dengan Taiwan tidak berubah." Analis mengatakan Biden tampaknya "salah bicara."
AS memiliki 'militer paling kuat'
Ketika ditanya CNN pada Kamis (21/10), apakah Amerika Serikat bersedia dan mampu membela Taiwan jika terjadi serangan oleh Cina, Biden menjawab: "ya dan ya."
"Cina, Rusia, dan seluruh dunia tahu bahwa kami memiliki militer paling kuat dalam sejarah dunia," jawab Biden.
Lebih lanjut saat ditanya oleh moderator apakah itu berarti AS akan membela Taiwan jika Cina menyerang, Biden berkata: "Ya, kami memiliki komitmen untuk melakukan itu."
Klarifikasi lain dari Gedung Putih
Sekali lagi, juru bicara Gedung Putih mengklarifikasi setelah Biden berbicara bahwa tidak ada perubahan dalam kebijakan AS terkait Taiwan, kerja sama pertahanan terus dilakukan di bawah Undang-Undang Hubungan Taiwan, yang disahkan Kongres pada 1979, ketika Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina menjalin hubungan diplomatik.
Menurut undang-undang tersebut, Amerika Serikat "harus mempertahankan kapasitas untuk melawan segala upaya kekerasan atau bentuk paksaan lain yang akan membahayakan keamanan atau sistem sosial atau ekonomi rakyat Taiwan."
Kata-kata dari undang-undang tersebut adalah dasar dari apa yang disebut pengamat sebagai "ambiguitas strategis" dari kebijakan AS sejak 1979. Washington telah membiarkannya terbuka apakah Amerika Serikat akan datang membantu Taiwan dengan intervensi militer, jika pasukan Cina menyerang. Rumusan seperti itu akan ditafsirkan oleh pemerintah Cina sebagai dukungan bagi kemerdekaan Taiwan.
Hubungan Taiwan dan Cina yang semakin menjauh
Meskipun pengiriman senjata AS ke Taiwan terus berlanjut, Amerika Serikat dan Cina menjalin hubungan yang lebih erat sejak 1979, terutama pada akhir 1990-an di bawah mantan presiden Bill Clinton dan Jiang Zemin.
Namun, kemeseraan itu sudah berakhir, tulis Marco Overhaus, dari Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan (SWP) yang berbasis di Berlin, dalam sebuah artikel untuk surat kabar Die Welt.
"Di Washington, ada persepsi bahwa persaingan dengan Cina adalah perjuangan epik antara pasar bebas yang demokratis dan negara-kapitalis otoriter Cina," tulis Overhaus pada 18 Oktober. "Presiden AS Joe Biden telah menegaskan diri, demokrasi melawan negara-negara otoriter di pusat kebijakan luar negerinya."
Presiden Tsai Ing-wen adalah personifikasi identitas Taiwan baru yang jelas berbeda dari daratan. Tidak ada pertanyaan untuk mendeklarasikan kemerdekaan Taiwan karena itu adalah "garis merah" untuk Beijing dan melintasinya secara otomatis akan 'mengundang' tanggapan militer.