Sabtu, 4 Oktober 2025
Deutsche Welle

Warga Afganistan Berbondong Bikin Paspor untuk Menyelamatkan Diri dari Taliban

Antrean warga Afganistan yang ajukan permohonan paspor dimulai sebelum matahari terbit. Mereka khawatir akan kehidupan di bawah bayangan…

Menurut para pejabat, serangan udara sebagian besar telah memberikan dukungan langsung kepada pasukan Afganistan yang tengah kewalahan karena diserang oleh Taliban. Beberapa serangan juga menyasar peralatan militer yang direbut Taliban.

Belum tahu mau pergi ke mana

Perempuan bernama Nazari yang juga ikut mengantre pembuatan paspor memang terlalu muda untuk mengingat rezim pertama Taliban, dari tahun 1996 hingga 2001. Tapi dia bisa jelas mengingat apa yang telah mereka lakukan setelahnya.

"Satu-satunya hal yang saya tahu adalah Taliban memiliki wajah teror -- pertempuran, bom bunuh diri, dan pertumpahan darah," ujar Nazari. "Ketika Anda pergi ke sekolah atau universitas, Anda mengharapkan masa depan yang cerah, tetapi jika Taliban mengambil alih kekuasaan, harapan untuk masa depan yang cerah itu akan hilang."

Banyak dari mereka yang mengantre pembuatan paspor masih tidak tahu ke mana mereka akan pergi jika diberi kesempatan. Mereka juga tidak tahu apakah akan ada negara yang bersedia menampung.

Sebagian besar negara mengharuskan warga Afganistan untuk melewati berbagai persyaratan untuk mendapatkan visa. Ada banyak dokumen yang diperlukan bersama bukti stabilitas keuangan yang tidak banyak dimiliki oleh orang-orang di sana. Namun, semua orang ingin bersiap-siap.

"Hidup kami dalam bahaya; kami tidak punya pilihan," kata Sardar, 52, yang menolak menyebutkan nama aslinya karena khawatir akan keselamatan nyawanya setelah bekerja sebagai penerjemah untuk kelompok masyarakat sipil Inggris.

Penerjemah untuk pasukan asing dan kedutaan memang sangat rentan mendapatkan kekerasan dan balasan dari Taliban. Banyak negara telah mengevakuasi ribuan orang di bawah skema visa darurat.

Mantan pegawai negeri Haji Sayed Mohammad Sultani juga menginginkan paspor untuk bisa lari ke luar Afganistan. Tapi ia tidak bisa membayangkan dirinya jadi pengungsi seperti yang pernah terjadi saat rezim Taliban berkuasa, masa invasi Soviet, dan perang saudara yang terjadi sebelumnya.

Jadi bagi dia, "selama Afganistan layak huni, kami tidak akan meninggalkan negara kami," kata pria berusia 45 tahun itu.

ae/hp (AFP, AP)

Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved