Referendum Menjadikan Osaka Kota Metropolitan Jepang Ditolak Masyarakatnya
Kami menyerukan restrukturisasi 24 distrik administratif kota Osaka menjadi empat distrik khusus dengan otoritas yang lebih besar dan pemimpin terpili
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Masyarakat Osaka, baik kota maupun perfektur yang melakukan referendum ke-2 kalinya (pertama kali tahun 2015) mengenai penyatuan kota Osaka dan perfektur, menjadi Kota Metropolitan Osaka (KMO), menghasilkan suara kemenangan bagi yang menentang penyatuan tersebut, menentang pembentukan KMO.
"Kami menyerukan restrukturisasi 24 distrik administratif kota Osaka menjadi empat distrik khusus dengan otoritas yang lebih besar dan pemimpin terpilih. Namun hasilnya ditentang, ya kami terima hasilnya," papar Gubernur perfektur Osaka Hirofumi Yoshimura kemarin malam (1/11/2020).
Hal serupa diakui pula oleh Walikota Osaka Ichiro Matsui yang mengungkapkan pula akan mundur dari jabatannya setelah selesai masa jabatannya April 2023 mendatang.
"Saya benar-benar akan menerima keinginan warga Osaka, dan akan mundur dari jabatan nantinya," kata Matsui dalam konferensi pers Minggu malam menyusul hasil referendum yang mengikat, dengan hasil sama seperti tahun 2015 referendum pertama kali.
Sebanyak 692.996 suara menolak rencana menjadikan Osaka sebagai KMO. Sedangkan yang mendukung pembentukan KMO sebanyak 675.829 suara.
Jumlah pemilih mencapai 62,35 persen, lebih rendah 4,48 poin persentase dibandingkan dengan jajak pendapat sebelumnya pada tahun 2015.
Dengan rencana dibatalkan lagi, Matsui mengatakan dia akan pensiun dari politik setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai walikota pada April 2023.
Apabila rencana pembentukan KMO mendapat persetujuan kemarin, sebenarnya akan diperkenalkan pada tahun 2025, ketika kota di Jepang barat menjadi tuan rumah Osaka Expo 2025 di pulau buatan Yumenoshima Osaka.
Namun banyak masyarakat Osaka tidak setuju penyatuan tersebut.
"Buang uang pajak saja padahal kita harus fokus pada Corona saat ini. Belum tentu bersatu jadi bisa irit biaya pengeluaran anggaran pemerintah Osaka. Jadi sebaiknya seperti sekarang saja jangan berubah," ungkap Akiko Yamashina seorang warga Osaka kepada Tribunnews.com Senin ini (2/11/2020).
Komeito, mitra koalisi yang berkuasa dari Partai Demokrat Liberal (LDP), juga mendukung rencana tersebut, menarik perhatian atas efek yang masih ada pada urusan politik di tingkat nasional. Sedangkan LDP sendiri menentang penyatuan tersebut.
Hasil referendum diawasi ketat oleh pemerintahan Perdana Menteri Yoshihide Suga karena potensi dampaknya terhadap manajemen strategi pemerintah dan parlemen.
"Saya pikir (pemungutan suara) memicu perdebatan tentang sistem administrasi metropolitan. Orang-orang Osaka pasti agak bingung juga dalam membuat keputusan. Kita serahkan kepada masyarakat osaka sendiri," papar PM Suga pagi ini (2/11/2020).
Meskipun demikian PM Suga menghimbau agar berbagai diskusi penting dilakukan tentang bagaimana menghidupkan kembali perekonomian Jepang dan merevitalisasi daerah setempat.
Dengan masa jabatan empat tahun anggota majelis rendah saat ini akan berakhir Oktober mendatang, beberapa pejabat di LDP khawatir hasil tersebut dapat menghambat kerja sama dalam pemilihan umum berikutnya antara LDP cabang Osaka dan Komeito, yang berada di sisi berlawanan dari perdebatan pembentukan KMO.
Seorang anggota parlemen senior LDP yang menangani masalah pemilihan mengatakan, "Kami harus bekerja keras untuk tidak meninggalkan efek samping emosional" terutama mengenai perpecahan di kubu yang berkuasa.
Rencana metropolis Osaka adalah kebijakan khas Osaka Ishin no Kai, yang menyerukan untuk melepaskan diri dari konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di Tokyo.
Para pendukung mengatakan tindakan itu akan mengarah pada tata kelola yang hemat biaya dengan menghilangkan duplikasi pekerjaan oleh pemerintah prefektur dan kota Osaka. Namun, para penentang berpendapat krisis virus corona harus diprioritaskan daripada referendum.
Menurut komite penyelenggara pemilu Osaka, 418.925 orang telah memberikan suara awal pada hari Sabtu, sekitar 60.000 lebih banyak dari referendum sebelumnya pada proposal pada tahun 2015. Sementara itu, jumlah pemilih mencapai 4,48 poin persentase lebih rendah menjadi 62,35 persen.
Sekitar 2,2 juta suara di kota Jepang barat memenuhi syarat untuk mengambil bagian dalam referendum, yang kampanye resminya dimulai pada 12 Oktober.
"Saya ingin (pemerintah) menyingkirkan tumpang tindih dalam administrasi dan berhenti membuang-buang uang pembayar pajak," kata Yasutaka Yamaguchi, seorang karyawan perusahaan berusia 52 tahun yang mendukung rencana tersebut.
Tapi orang lain yang menolaknya, seperti Yuriko Nishimura, 36 tahun yang menjalankan bisnisnya sendiri, berpendapat bahwa "Tidak jelas apa keuntungan keseluruhannya."
Toru Hashimoto, mantan gubernur dan walikota Osaka, pertama kali menganjurkan rencana tersebut pada 2010 . Osaka dengan perekonomian telah tumbuh terlalu besar untuk dikelola dengan cara saat ini sehingga diusulkan menjadi KMO oleh Hashimoto.
Sementara itu telah terbit buku baru "Rahasia Ninja di Jepang" yang sangat menarik, informasi lebih lanjut ke: [email protected]