Turki Janji Bela Azerbaijan Perangi Armenia: Kami Pasti Bantu, di Medan Perang atau Meja Perundingan
Situasi di Nagorno-Karabakh mulai membara pada 27 September, dengan bentrokan bersenjata yang memasuki hari keempat.
Pernyataannya itu menyuarakan pernyataan Presiden Turki Tayyip Erdogan.
Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, kemudian berterima kasih kepada Turki atas dukungannya tetapi mengatakan negaranya tidak membutuhkan bantuan militer.
"Pertempuran akan berhenti jika pasukan Armenia segera meninggalkan tanah kami," katanya.
Cavusoglu juga mengatakan solidaritas Prancis kepada Armenia sama dengan mendukung pendudukan Armenia di Azerbaijan.
Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang negaranya adalah rumah bagi banyak orang keturunan Armenia, menanggapi hal tersebut saat berkunjung ke Latvia.
Dia mengatakan Prancis sangat prihatin dengan "pesan suka perang" dari Turki "yang pada dasarnya menghilangkan hambatan Azerbaijan dalam merebut kembali Nagorno-Karabakh".
“Dan itu tidak akan kami terima,” katanya.
Peran Moskow
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan Moskow bersedia menjadi tuan rumah bagi para menteri luar negeri Armenia dan Azerbaijan untuk melakukan perundingan.
Reuters memberitakan, Lavrov mengadakan percakapan telepon terpisah dengan kedua menteri luar negeri, dan mengatakan dia menyerukan gencatan senjata dan menghentikan "retorika provokatif perang".
Lavrov mengatakan Rusia akan terus bekerja baik secara independen maupun bersama-sama dengan perwakilan kelompok Minsk lainnya dari Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) untuk menengahi konflik tersebut.
Presiden Azerbaijan berjanji untuk terus berjuang sampai pasukan Armenia meninggalkan wilayah sengketa. Hal itu diungkapkan Presiden pada hari keempat pertempuran sengit di wilayah tersebut.
"Kami hanya memiliki satu syarat: angkatan bersenjata Armenia harus tanpa syarat, sepenuhnya, dan segera meninggalkan tanah kami," kata Presiden Ilham Aliyev seperti yang dikutip BBC.
Sejak perang berlangsung, angka kematian yang dilaporkan sudah melebihi 100 orang. Dapat dikatakan, ini merupakan pertempuran terburuk selama bertahun-tahun di wilayah Nagorno-Karabakh.
Meski secara resmi wilayah tersebut merupakan bagian dari Azerbaijan, namun wilayah itu diperintah oleh etnis Armenia.