Sabtu, 4 Oktober 2025

Aksi Protes di Thailand: Plakat Menentang Raja Dicopot, Demonstran yang Memasangnya Akan Dihukum

Plakat yang dipasang oleh para demonstran yang bertuliskan, "Thailand adalah milik rakyat, bukan milik raja" dicopot.

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
Lillian SUWANRUMPHA, Jack TAYLOR / AFP
Foto kombinasi yang dibuat pada 21 September 2020 ini menunjukkan plakat peringatan yang ditempatkan oleh para pemimpin protes pro-demokrasi pada 20 September 2020 (kiri) dan ruang kosong setelah plakat dicopot pada 21 September 2020. 

Keluarga kerajaan Thailand telah lama terlindung dari kritik di bawah undang-undang lese-majeste di mana orang yang melakukan protes dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.

Pada bulan Agustus, para pengunjuk rasa melanggar tabu itu.

Dalam satu aksi demonstrasi, seruan 10 poin untuk reformasi monarki dibacakan.

Demonstran Didominasi Anak Muda

Juru bicara Persatuan Mahasiswa Thailand Panusaya
Juru bicara Persatuan Mahasiswa Thailand Panusaya "Rung" Sithijirawattanakul (tengah) memberi hormat dengan tiga jari ala Hunger Games saat pengunjuk rasa anti-pemerintah mengelilinginya secara protektif selama unjuk rasa pro-demokrasi di Bangkok pada 20 September 2020 (Lillian SUWANRUMPHA / AFP)

Pemuda Thailand berada di antara ribuan orang di jalan-jalan Bangkok minggu lalu dalam salah satu aksi protes anti-pemerintah terbesar yang pernah terjadi di ibu kota selama bertahun-tahun, meskipun ada larangan diadakannya pertemuan besar karena virus corona.

Namun mereka mengatakan akan terus memprotes jika tiga tuntutan utama mereka tidak dipenuhi.

Tiga tuntutan mereka yaitu agar parlemen dibubarkan, agar konstitusi ditulis ulang, dan agar pihak berwenang berhenti melecehkan para kritikus.

Pemuda yang kecewa

Thailand memiliki sejarah panjang soal kerusuhan dan protes politik.

Tetapi gelombang baru dimulai pada Februari tahun ini, setelah partai politik oposisi populer diperintahkan untuk dibubarkan.

Pada Maret 2019, pemilihan umum pertama terjadi sejak militer merebut kekuasaan pada tahun 2014.

Bagi banyak anak muda dan pemilih pemula, ini dipandang sebagai peluang untuk perubahan setelah bertahun-tahun pemerintahan militer.

Tetapi militer telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat peran politiknya.

Pemilihan melihat Prayuth Chan-ocha, pemimpin militer yang memimpin kudeta, dilantik kembali sebagai perdana menteri.

Partai Penerusan Masa Depan (FFP) yang pro-demokrasi, yang dipimpin oleh Thanathorn Juangroongruangkit, memperoleh jatah kursi terbesar ketiga dan sangat populer di kalangan muda, pemilih pemula.

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved