Virus Corona
Donald Trump Rupanya Sengaja Remehkan Bahaya Covid-19, Akui Tak Ingin Warga AS Panik dan Takut
Presiden AS Donald Trump mengatakan dia meremehkan krisis COVID-19, karena tidak ingin membuat panik.
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Pengakuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tentang sikapnya yang kerap meremehkan virus corona terungkap ke publik.
Kepada seorang jurnalis di awal pandemi, ia mengaku sengaja meremehkan bahaya krisis kesehatan akibat virus corona di AS.
Padahal, bukti-bukti ilmiah jelas berkata sebaliknya.
"Saya ingin selalu meremehkannya," kata Trump kepada penulis Bob Woodward pada 19 Maret lalu, beberapa hari setelah dia menyatakan keadaan darurat nasional.
"Saya masih suka meremehkannya, karena saya tidak ingin membuat panik," ungkap Trump.

Baca: Trump Ingin Vaksin Covid-19 Tersedia Sebelum Pemilu AS, Kamala Harris: Hanya untuk Memoles Citra
CNN akhirnya menyiarkan wawancara yang dilakukan Woodward dengan Trump untuk buku barunya Rage, pada Rabu (9/9/2020) kemarin.
Adapun buku tersebut akan dijual pada Selasa depan, hanya beberapa minggu sebelum pemilihan presiden 3 November mendatang.
Kini, buku tersebut muncul di tengah kritik terhadap upaya Trump untuk memerangi Covid-19 di AS.
Dalam perbincangan pada 19 Maret itu, Trump membeberkan kepada Woodward, beberapa fakta mengejutkan atas meningkatnya risiko Covid-19 di AS.
"Ini bukan hanya tua, lebih tua. Orang muda juga, banyak orang muda (yang terkena virus)," papar Trump, dikutip dari CNA, Kamis (10/9/2020).

Baca: Demi Kalahkan Joe Biden pada Pilpres 2020, Donald Trump Rela Jika Harus Gelontorkan Uang Pribadi
"Faktanya, saya adalah pemandu sorak untuk negara ini. Saya mencintai negara ini dan saya tidak ingin orang-orang ketakutan," kata Trump di Gedung Putih kala itu.
"Kami telah melakukannya dengan baik dari standar apapun," tambahnya.
Dalam sebuah wawancara, CNN dan The Washington Post melaporkan, Trump sebenarnya mengetahui virus ini berbahaya sejak awal Februari.
"(Virus) itu mengudara, (Virus) itu selalu lebih keras daripada sentuhan. Kamu tidak perlu menyentuh sesuatu."
"Benar, tapi udara, kamu hanya perlu menghirup udara dan begitulah virus itu berlalu (menularkan)."
"Dan itu sangat rumit. Itu sangat rumit. Itu juga lebih mematikan daripada flu beratmu," kata Trump dalam rekaman wawancara 7 Februari lalu dengan Woodward.

Baca: Donald Trump Batalkan Kunjungan ke Pemakaman Karena Takut Kehujanan
Kemudian, seminggu setelah wawancara itu, Trump mengatakan pada briefing di Gedung Putih bahwa jumlah kasus virus corona di AS, dalam beberapa hari akan turun mendekati nol.
Setelah pengakuan ini terungkap, Woodward mendapat kritikan di sosial media lantaran menyembunyikannya.
Dalam sebuah wawancara dengan Associated Press, Woodward membela diri dari kritikan itu.
"Dia mengatakan ini padaku, dan aku berpikir, 'Wow, itu menarik, tapi apakah itu benar?' Trump mengatakan hal-hal yang tidak tepat, bukan?" ujar Woodward dalam wawancara telepon.
Baca: Muncul Spekulasi Donald Trump Terkena Stroke, Sang Presiden dan Dokter Pribadinya Langsung Membantah
Adapun beberapa rekan dari Partai Republik membela Trump terkait terungkapnya pengakuan bahaya virus corona pada Rabu kemarin.
"Tindakannya untuk menutup ekonomi adalah tindakan yang tepat," kata Senator Lindsey Graham.
"Dan saya pikir, waktu akan berbicara mengenai fakta dengan sendirinya," sambungnya.
Kala itu, Woodward melakukan 18 wawancara dengan Trump untuk buku tersebut.
Terdapat beberapa pengakuan lain, termasuk pernyataan Trump yang meremehkan para pemimpin militer AS.
Baca: Donald Trump Bantah Tuduhan Menyebut Tentara AS yang Gugur sebagai Pecundang, Ini Reaksi Joe Biden
Sebelumnya, Trump menuai kritik lantaran ia merendahkan para veteran militer AS yang telah gugur.
Dalam buku Woodward, seorang pembantu mantan Menteri Pertahanan Jim Mattis mendengar Trump berkata mengenai hal itu dalam sebuah pertemuan.
"Para jenderal sialan saya adalah sekelompok 'pussies', karena mereka lebih peduli pada aliansi daripada kesepakatan perdagangan," ungkap Trump.
Kemudian, Mattis meminta ajudannya untuk mendokumentasikan komentar itu dalam email, dan berakhir dalam laporan Washington Post.
(Tribunnews.com/Maliana)