Minggu, 5 Oktober 2025
Deutsche Welle

Mengapa Jerman Tak Berubah Setelah Pembunuhan Bermotif Rasisme 20 Tahun Lalu?

Alberto Adriano, pria kulit hitam yang tinggal di Jerman, dipukuli hingga tewas oleh Neonazi, Juni 2000. Dua dekade berlalu, masih…

Dua puluh tahun yang lalu Jerman dikejutkan oleh pembunuhan brutal berlatar belakang rasisme. Alberto Adriano, seorang pria berusia 39 tahun asal Mozambik dan ayah tiga orang anak, pada malam hari dicegat oleh anggota kelompok Neonazi ketika berjalan pulang dari menonton sepak bola di apartemen temannya.

Di tengah-tengah taman kota di Dessau, negara bagian Sachsen-Anhalt, tiga penyerangnya memukuli dan menendang Alberto Adriano berulang kali, bahkan setelah dia hilang kesadaran. Alberto Adriano meninggal di rumah sakit karena cedera parah di kepala tiga hari kemudian, pada 14 Juni 2000.

Ini adalah pembunuhan ekstremis ultra kanan pertama di bekas Jerman Timur sejak runtuhnya Tembok Berlin. Sedih dan marah, sekitar 5.000 orang kemudian berdemonstrasi di jalan-jalan kota Dessau.

Musisi dengan latar belakang Jerman-Nigeria, Ade Odukoya, yang lebih dikenal dengan nama Ade Bantu, masih ingat betapa ia terkejut saat mendengar kematian Adriano.

"Saya marah. Saya diliputi rasa takut dan saya juga merasa tidak bisa bergerak," katanya. Ia ingat saat itu dunia sedang bergembira menanti milenium baru, tapi lagi-lagi terjadi kasus pembunuhan bermotif rasisme.

Mengubah definisi menjadi ‘Jerman’

Bersama dengan musisi Jerman kulit hitam lainnya, Odukoya bertekad untuk bersuara. Mereka membentuk proyek anti-rasisme Brothers Keepers dan merilis lagu hip-hop berjudul "Adriano - Letzte Warnung" yang artinya Adriano - Peringatan Terakhir. Lagu ini menjadi top 10 hits di Jerman. Namun gerakan ini sekarang sudah bubar dan anggotanya terlibat dalam proyek lain. Ada juga versi perempuan dari gerakan itu, yang disebut Sisters Keepers.

"Apa yang kami inginkan adalah adanya pembahasan tentang 'Ke-Jerman-an', karena kami selalu merasa bahwa orang-orang Jerman selalu mengesampingkan orang dengan kulit berwarna," jelas Odukoya. "Saya berharap dengan lagu seperti 'Adriano - Letzte Warnung,' kami dapat mencapai pembahasan yang lebih luas mengenai identitas di Jerman."

Diskriminasi rasial meresap sangat dalam

Namun, dua dekade kemudian Jerman masih berjuang menghadapi rasisme terhadap kulit hitam dan bentuk-bentuk rasisme lainnya. Badan Anti-Diskriminasi Federal Jerman (ADS) Selasa lalu (09/06) merilis laporan tahunan untuk tahun 2019 ,dan angka-angkanya menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan signifikan dalam kasus diskriminasi rasial di Jerman.

Sedikitnya 1.176 kasus diskriminasi rasial dilaporkan ke ADS tahun lalu. Angka ini menunjukkan kenaikan 10 persen dari tahun sebelumnya, dan lebih dari dua kali lipat dari tahun 2015. Tetapi menurut Anetta Kahane, Ketua Dewan Antidiskriminasi Yayasan Amadeu Antonio, angka-angka ini tidak memberikan gambaran nyata tentang diskriminasi rasial di Jerman.

"Sejujurnya, saya tidak berpikir angka ini memberi kami banyak informasi. Hampir 1.200 kasus yang dilaporkan di negara sebesar Jerman menggambarkan bahwa ADS tidak benar-benar berfungsi," katanya. "Rasisme dan diskriminasi adalah masalah yang sangat besar."

Dia berpendapat bahwa Jerman perlu memiliki cara yang lebih mudah diakses bagi orang-orang untuk melaporkan insiden diskriminasi rasial dalam kehidupan sehari-hari, alih-alih harus melewati berbagai proses untuk membuat pengaduan resmi ke ADS. Dengan begitu, akan ada gambaran yang jauh lebih akurat tentang apa yang sedang terjadi.

Diskusi mandeg

Pengakuan akan adanya insiden rasisme dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan. Tanpa itu, perdebatan tentang rasisme akan selalu dimulai dari nol. "Setiap kali kita berbicara tentang rasisme di Jerman, pertanyaan pertama yang selalu diajukan adalah: Apakah rasisme benar-benar ada di Jerman?" kata Aminata Touré, Wakil ketua Parlemen negara bagian Schleswig-Holstein.

"Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui diskriminasi rasial yang dihadapi banyak orang di Jerman."

Masalah lain yang masih ada dan juga dihadapi oleh Odukoya 20 tahun lalu adalah: gagasan bahwa menjadi orang Jerman secara otomatis berarti orang kulit putih.

Halaman
12
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved