Jumat, 3 Oktober 2025

Harga Minyak Anjlok Lagi Bikin Panik Pasar, RI Terancam Defisit Rp 12,2 Triliun

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juni ditutup anjlok 24 persen menjadi 19,33 dolar AS per barel, terendah sejak Februari 2002.

Editor: Dewi Agustina
REUTERS
Harga minyak mentah berpeluang jatuh lagi setelah Iran menggenjot produksinya. 

TRIBUNNEWS.COM, NEWS YORK - Harga minyak berjangka Brent anjlok lagi pada akhir perdagangan Selasa (21/4/2020) waktu setempat atau Rabu pagi WIB, memperpanjang kepanikan pasar minyak ke hari kedua, menyusul meningkatnya banjir pasokan minyak mentah global.

Pandemi Covid-19 telah melenyapkan permintaan bahan bakar minuak.

Senin (20/4/2020) dan Selasa (21/4/2020) adalah dua hari yang paling bergejolak dalam sejarah perdagangan minyak, ketika para investor menghadapi kenyataan pasokan di seluruh dunia akan membanjiri permintaan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Pemotongan produksi saat ini untuk mengimbanginya jauh dari cukup.

Setelah perdagangan Senin, ketika kontrak AS untuk Mei jatuh ke wilayah negatif untuk pertama kalinya dalam sejarah, pada Selasa muncul tonggak baru ketika lebih dari dua juta kontrak minyak mentah AS untuk pengiriman Juni berpindah tangan.

Baca: Kejahatan Merajalela, Yasonna Laoly Minta Napi Asimilasi Tak Disalahkan, Hotman Paris: Aduh Pusing!

Inilah hari tersibuk dalam sejarah, menurut operator bursa CME Group.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juni ditutup anjlok 24 persen menjadi 19,33 dolar AS per barel, terendah sejak Februari 2002.

Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk penyerahan Juni, terperosok 8,86 dolar AS atau 43 persen, menjadi menetap di 11,57 dolar AS per barel.

Kontrak AS untuk Mei, yang berakhir pada Selasa (21/4/2020), pulih dari kejatuhan yang dalam ke wilayah negatif, naik menjadi 10,01 dolar AS dari hari sebelumnya yaitu minus 37,63 dolar AS.

Persediaan minyak telah meningkat selama berminggu-minggu setelah Arab Saudi dan Rusia pada awal Maret gagal mencapai kesepakatan tentang perpanjangan pengurangan produksi ketika pandemi virus corona semakin memburuk.

Sejak saat itu, penyebaran pandemi telah mengurangi permintaan bahan bakar sekitar 30 persen di seluruh dunia.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu-sekutunya, termasuk Rusia, akhirnya mengumumkan pengurangan produksi pada awal April, yang berjumlah hampir 10 persen dari pasokan global.

Tetapi dalam kondisi ekonomi hampir macet karena lockdown virus corona, penurunan produksi itu tidak cukup untuk mengimbangi penurunan permintaan.

Baik Arab Saudi maupun Rusia mengatakan pada Selasa mereka siap untuk mengambil langkah-langkah tambahan guna menstabilkan pasar minyak bersama dengan produsen lain, tetapi mereka belum mengambil tindakan.

Baca: Jawaban Soal Bagaimana Cara Terbaik untuk Melestarikan Budaya Permainan Tradisional Perahu Jong

"Matematika-nya cukup sederhana. Produksi minyak saat ini sekitar 90 juta barel per hari, tetapi permintaan hanya 75 juta barel per hari," kata Gregory Leo, Kepala Investasi dan Kepala Manajemen Kekayaan Global di IDB Bank.

Terancam Defisit

Di Texas, regulator minyak dan gas menolak untuk memaksa produsen mengurangi produksi minyak.

Texas Railroad Commission, yang mengatur perusahaan energi di negara bagian itu, telah mempertimbangkan melakukan intervensi di pasar untuk pertama kalinya dalam hampir 50 tahun.

"Dunia akan kehabisan ruang untuk menyimpan minyak pada minggu kedua Mei," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA di New York.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan harga minyak dunia yang terus mengalami penurunan bisa menambah defisit anggaran hingga Rp 12,2 triliun.

Keterangan BKF yang diterima di Jakarta, Rabu, menyatakan proyeksi itu terjadi apabila harga ICP (Indonesia crude price/harga minyak mentah Indonesia) minyak lebih rendah dari asumsi harga ICP minyak yang ditetapkan dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2020.

"Perubahan ICP akan berdampak terhadap APBN mengingat baseline asumsi harga ICP dalam Perpres 54/2020 adalah 38 dolar AS per barel untuk harga rata-rata sepanjang 2020," sebut keterangan pers tersebut.

Dengan demikian, jika harga minyak dunia terus mengalami penurunan sehingga ICP menjadi 30,9 dolar AS per barel rata-rata setahun, defisit diperkirakan bertambah Rp 12,2 triliun.

Pemerintah terus melakukan pemantauan untuk melakukan kebijakan antisipatif termasuk pengendalian defisit, di antaranya melalui evaluasi atas belanja nonproduktif.

Harga ICP sekarang ini masih sedikit di atas harga minyak Brent.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved