Krisis Rohingya: Demonstrasi tandai peringatan dua tahun di pengungsian Bangladesh
Dua tahun setelah apa yang disebut PBB sebagai "pembersihan etnis", pengungsi dari Myanmar memperingati "hari genosida" mereka.
Upaya repatriasi pada Kamis silam melibatkan sekitar 300 keluarga, dengan bus-bus yang telah siap mengantarkan mereka ke Myanmar.
Badan PBB yang menangangi pengungsi, UNHCR, yang mewawancarai para pengungsi mengatakan: "Sejauh ini, tidak ada indikasi untuk dipulangkan pada saat ini."
Bangladesh kehilangan kesabaran
Oleh Akbar Hossain, koresponden BBC di Dhaka
Krisis pengungsi telah membawa beban politik domestik yang luar biasa bagi pemerintahan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina. Sebagai tuan rumah, Bangladesh mulai kehilangan kesabaran atas apa yang terjadi terhadap pengungsi Rohinya.
Para ahli di Bangladesh percaya bahwa China memiliki peran besar dalam memberikan tekanan pada Myanmar sehingga memastikan kondisi yang lebih aman bagi pengungsi yang kembali.
Faktor penting lainnya adalah situasi hukum dan ketertiban di dalam kamp. Insiden menunjukkan kelompok bersenjata Rohingya semakin kuat.
Banyak orang takut bahwa ekstremis Islam mungkin menyebar di kamp-kamp pengungsi, yang ditandai dengan kemiskinan ekstrem.
Pada hari yang sama, misi pencari fakta PBB yang bertugas menelisik pelanggaran HAM oleh Myanmar mengatakan, para prajurit kerap melakukan pemerkosaaan dalam "upaya genosida militer Myanmar untuk menghancurkan populasi warga Rohingnya".
Hal itu berlanjut di negara bagian Kachin dan Shan sekarang, sebut misi pencari fakta itu.
Kekerasan seksual oleh militer adalah "bagian dari strategi yang terencana untuk mengintimidasi, meneror dan menghukum sebuah populasi masyarakat," simpulnya.
Dua tahun di pengungsian
Di Kutupalang, kamp pengungsi terbesar di dunia, doa dan nyanyian terdengar ketika 30.000 orang ambil bagian dalam acara peringatan tersebut.
"Saya datang ke sini untuk mencari keadilan atas pembunuhan kedua putra saya. Saya akan terus mencari keadilan sampai napas terakhir saya," kata Tayaba Khatun yang berusia 50 tahun kepada kantor berita AFP.
Pemimpin Rohingya Mohib Ullah mengatakan: "Kami telah meminta pemerintah Myanmar untuk berdialog. Tetapi kami belum mendapat tanggapan dari mereka.
"Kami dipukuli, dibunuh, dan diperkosa di Rakhine. Tapi tetap saja itu rumah kami. Dan kami ingin kembali."