Selasa, 7 Oktober 2025
Deutsche Welle

Ancam Anggota Keluarga, Pemerintah Cina Intimidasi Warga Uighur di Luar Negeri

Warga Uighur yang tinggal di AS dan Eropa mengungkapkan pada DW bahwa pihak berwenang Cina menarget anggota keluarga mereka yang tinggal…

Setidaknya 1,5 juta warga Uighur dan minoritas muslim lainnya diperkirakan ditahan di "kamp reedukasi" di Daerah Otonomi Xinjiang Cina, di ujung barat laut negara itu. Laporan menunjukkan bahwa banyak dari orang-orang ini menghilang begitu saja dari rumah mereka.

Cina menggambarkan kamp-kamp reedukasi ini sebagai "pusat pelatihan kejuruan" atau "sekolah berasrama," sambil mempertahankan program tersebut sebagai perjuangan melawan "ekstremisme Islam." Pengamat HAM mengatakan hal itu adalah bentuk "pembersihan etnis."

Dan sekarang menurut meerka, ada bukti bahwa Cina menekan komunitas Uighur yang tinggal di luar negeri agar mereka tidak berbicara menentang penahanan massal orang Uighur di Xinjiang.

Warga Uighur yang melarikan diri ke AS dan Eropa mengatakan kepada DW bahwa pihak berwenang Cina berusaha menekan aktivisme komunitas Uighur di luar negeri dengan mencari anggota keluarga yang masih tinggal di Cina. Aktivis mengatakan bahwa anggota keluarga mereka yang dibebaskan meminta mereka untuk tidak memprotes program interniran.

Penderitaan seorang ibu

Ferkat Jawdat, seorang warga Uighur berusia 26 tahun yang tinggal di negara bagian Virginia, AS, mengatakan kepada DW bahwa pemerintah Cina telah berusaha menggunakan beberapa anggota keluarga sebagai "sandera" untuk membungkam aktivisme-nya.

Ayah Jawdat mengajukan permohonan suaka di AS pada tahun 2006, dan Jawdat serta saudara-saudaranya bergabung dengan ayah mereka pada tahun 2011. Ferkat Jawdat sekarang adalah warga negara AS. Namun, ibunya tidak memiliki paspor Cina. Meskipun telah berulang kali mencoba, permintaannya tetap ditolak. Tidak ada penjelasan resmi dari pihak berwenang atas penolakan tersebut.

Jawdat mengatakan bahwa ibunya, yang tinggal di kota Yining di Xinjiang, pertama kali dikirim ke kamp reedukasi selama 22 hari pada akhir tahun 2017, setelah dua pamannya juga ditahan.

"Pada bulan November 2017, ibu saya memberi tahu saya dalam sebuah pesan WeChat bahwa dia akan pergi ke 'sekolah' untuk belajar, dan dia meminta saya untuk tidak khawatir tentang dia karena banyak orang yang dia kenal juga ada di 'sekolah' itu," kata Jawdat. "Dia akhirnya ditahan selama 22 hari."

Setelah dibebaskan, Jawdat mengatakan bahwa ibunya mulai menghindari percakapan tentang keberadaan pamannya, dan pada suatu kesempatan, dia memberi tahu anggota keluarganya di AS bahwa dia melanggar hukum dengan berbicara kepada mereka di telepon.

Pada bulan Februari 2018, ibu Jawdat mengatakan kepadanya bahwa dia akan kembali ke "sekolah". "Dia mengatakan kepada saya bahwa dia tidak tahu kapan dia akan kembali," kenang Jawdat. "Itu terakhir kali saya mendengar kabar darinya untuk waktu yang sangat lama."

Setelah penahanan kedua ibunya di kamp reedukasi, Jawdat mulai secara aktif berbicara tentang keadaan menyedihkan yang ia dan keluarganya lalui.

Dia dan tiga orang Uighur lainnya bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada Maret 2019. Namun, dia mengatakan berita ini sampai ke Cina dan itu membuat bibi dan pamannya dipindahkan dari kamp interniran ke penjara di Xinjiang.

"Beberapa anggota keluarga mengatakan kepada saya bahwa saya harus menghentikan apa yang saya lakukan atau saya tidak akan pernah melihat ibu saya lagi," katanya. "Ini bukan pertama kalinya pemerintah Cina mencoba mengancam melalui anggota keluarga saya."

Tetapi Jawdat terkejut oleh panggilan telepon dari ibunya pada Mei 2019. Dia mengatakan kepadanya bahwa dia telah dibebaskan dan menghabiskan waktu beberapa minggu dengan ibunya (nenek Jawdat).

Halaman
123
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved