'Sabotase' kapal, buntut manuver Amerika Serikat di Timur Tengah?
Hingga kini belum ada pihak yang dituding melakukan 'sabotase' di lepas pantai UEA terhadap empat kapal, termasuk dua kapal minyak Saudi, yang
Iran sudah menyatakan tidak terlibat dan meminta diadakan penyelidikan penuh. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Abbas Mousavi "menyerukan negara-negara di kawasan agar waspada dalam menghadapi petualangan unsur-unsur asing", tanpa merinci pihak yang dimaksud.
Di samping pengakuan Iran bahwa negara itu tidak berada di balik serangan, ada faktor lain yang mungkin dapat menjadi alasan mengapa Iran tidak buru-buru dituduh, kata Direktur Indonesia Center for Middle East Studies di Universitas Padjajaran, Dr. Dina Sulaeman.
"Rekam jejak Iran sebagai state (negara), juga tidak pernah melakukan serangan terlebih dulu. Tapi kita tahu bahwa di kawasan juga ada musuh UAE dan Saudi, yaitu milisi Yaman yang memiliki kekuatan senjata yang cukup kuat, dan beberapa kali sudah melemparkan rudal ke Saudi," tambahnya.
Kendati demikian, Iran bisa jadi negara yang gampang dituding berada di balik 'sabotase' empat kapal dagang.
"Ingat yang diserang tanker Saudi.... Dua negara itu berseberangan di berbagai tempat," kata pengamat politik Timur Tengah dari LIPI, Hamdan Basyar.
Selain dua kapal minyak Arab Saudi, dua kapal yang diserang adalah masing-masing satu kapal Uni Emirat Arab dan Norwegia.
Tarik ulur
Yang mengkhawatirkan, kata Dina Sulaeman, adalah jika insiden serangan kapal itu digunakan sebagai dalih untuk melancarkan perang, sebagaimana yang terjadi di era tahun 1960-an, ketika muncul "tuduhan bahwa kapal Vietnam Utara menembaki kapal USS Maddox, dan ini dijadikan pretext (dalih) oleh AS untuk menyerang Vietnam".
Meski demikian ketegangan yang meningkat belakangan, antara lain ditandai dengan pengerahan kapal induk USS Abraham Lincoln bersama pesawat-pesawat pengebom B-52 ke Teluk, diperkirakan tidak akan mengarah ke perang terbuka.
Menurut dosen Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran, Dina Sulaeman, kedua pihak terlihat tarik ulur.
Di pihak Iran muncul pernyataan keras dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) yang menyebut kehadiran kapal induk AS di Teluk kini bisa menjadi sasaran dan peluang yang menguntungkan bagi Teheran, padahal dulu kehadirannya merupakan ancaman serius.
"Di saat yang sama, Presiden Rouhani juga menyatakan bahwa kurang lebih zaman sekarang adalah zaman diplomasi (bukan perang)," tambahnya.
Adapun di kubu Amerika Serikat, penasihat keamanan nasional John Bolton, dalam berbagai kesempatan menggarisbawahi bahwa negaranya tidak ingin beradu senjata dengan Iran.
Pernyataan itu seakan berbanding terbalik dengan ancaman-ancaman yang senantiasa dikeluarkan oleh Presiden Trump terhadap Iran.
"Di sisi lain, setelah memberikan berbagai ancaman, Trump malah memberikan nomer teleponnya, meminta Iran untuk menghubungi," jelas Dina Sulaeman yang pernah bekerja di Iran tersebut.