Kisah pangeran Saudi yang mengungkapkan rasa cintanya kepada seorang pesepakbola Inggris
Ketika pangeran Saudi menyatakan perasaannya kepada seorang pesepakbola Inggris, si jago kulit bundar itu pergi meninggalkan Saudi. Lalu, apa
Impiannya - bermain di bawah siraman cahaya lampu Old Trafford - usai. Alih-alih, ia meninggalkan bangku sekolah dan bekerja sebagai pesuruh di kantor media Manchester Evening News.
Ketika kakinya mulai sembuh, ia bergabung dengan Stalybridge Celtic, klub semi-profesional di dekat rumahnya. Manajer pertamanya adalah George Smith, mantan pemain bola yang tengah meniti karir sebagai pelatih internasional.
George - yang sebelumnya melatih di Islandia - meninggalkan Stalybridge untuk mengelola klub Al-Hilal, salah satu klub sepak bola terbesar di Arab Saudi. Segera setelahnya, Eamonn juga meninggalkan klub tersebut, pindah sejauh hampir 500 kilometer ke selatan untuk bergabung dengan klub profesional Plymouth.
Akan tetapi ia menderita di sana - gajinya tidak menutupi biaya sewa rumah - dan ia hanya bertahan kurang dari satu musim. Setelahnya, setelah ia pulang ke rumah, ia menerima sepucuk surat.
Cap posnya dalam bahasa Arab.

Surat itu dari George Smith. Ia meminta Eamonn terbang ke Saudi untuk masa percobaan selama satu bulan. Jika ia membuat terkesan - dan mampu menahan cuaca panas di sana - ia bisa menjadi pemain Eropa pertama yang bergabung dengan Al-Hilal.
"Saat itu bulan November, saya rasa tengah turun salju (di Manchester)," ungkap Eamonn. "Saya pikir - 'itu bukan undangan yang buruk.'"
Namun bukan hanya cuacanya yang menarik. Eamonn sudah menikah dengan dua anak: sebuah mantera di Saudi, pikirnya, bisa berarti melunasi utang kredit rumahnya lebih cepat dari yang ia perkirakan.
Ia lantas pergi ke London dan terbang ke ibu kota Arab Saudi, Riyadh, melalui Kairo dan Jeddah. Saat tiba di Jeddah, ia tahu ia berada di dunia yang sama sekali berbeda. Seorang petugas Saudi mengambil koran Sunday Express-nya, mengeluarkan sepasang gunting, dan memotong foto perempuan di lembarannya, membiarkan bagian kepalanya saja yang tersisa.
Hal itu bisa jadi lebih buruk, kata Eamonn: pria di sebelahnya punya News of the World.
Gegar budaya itu terus berdatangan. Di Riyadh, George menunggu Eamonn di landasan, duduk di kap mobil Buick yang besar. Di kampung halamannya, Eamonn mengemudikan mobil Morris Mini.
Di Manchester, ikan goreng dan keripik adalah suguhan gratis. Di hotel bintang lima, Eamonn bisa makan dan minum sepuasnya.
Eamonn - pria berusia 22 tahun yang sebelumnya tinggal di sebuah dewan rumah - berada di tengah semesta yang berbeda. Bukan cuma suhu udara, atau pohon palem, atau padang pasir berkilauan yang membentang di cakrawala. Tapi kemakmurannya.
Pembentukan Opec tahun 1960, dan krisis minyak tahun 1973, membuat perekonomian Saudi tumbuh pesat. Antara tahun 1970 dan 1980, ekonomi negara tersebut meroket hingga lebih dari 3.000%. Negeri itu bermandikan minyak, dan orang-orang hebat memiliki kekayaan yang berlimpah. Eamonn akan menemui salah satu di antaranya.
