Jumat, 3 Oktober 2025

Nurhadi-Aldo: Penyegar kesumpekan Pilpres yang menormalisasi kecabulan politik?

Banyak yang terhibur menyambut Nurhadi-Aldo, 'calon presiden nomor urut 10'. Namun Tunggal Pawestri mencemaskan betapa seksisme dan eksploitasi

Tak ada yang keberatan atas moto mereka, yang disingkat -melalui pewarnaan khusus di motto itu: 'k*nt*l mas,' dan kemudian 'k*nt*l maha asyik'. Andai saja akronim sejenis muncul dari kubu Jokowi-Maruf Amien, Prabowo-Sandi, atau politikus mana pun, atau bintang film atau pengusaha, pasti segera akan jadi bulan-bulanan.

Oke, akronim pasangan ini, Dildo, mungkin akan bisa dimaafkan karena boleh jadi dianggap langkah baru belaka, dan mengutip 'tim sukses' dalam wawancara dengan BBC bahwa ini disengaja sebagai strategi marketing untuk mendapatkan perhatian cepat dari publik, yang nantinya saya pikir lambat laun akan 'diluruskan'.

Tetapi bagaimana dong: setelah menjadi pusat perhatian, tehnik berkomunikasi mereka terus saja mengandalkan pada idiom-idiom vulgar, dan cabul yang seksis serta phallus centris itu.

Sayang sekali, kalau setelah di awal kita-kita bilang, 'ah koplak juga nih, asyik,' seterusnya koalisi #dildoforindonesia Nurhadi Aldo ini tak beranjak dari sekadar 'koplak juga' itu.

Salahkah percabulan? Apakah saya jadi sok moralis atau cuma kurang asik? Saya ajak Anda berkelana sedikit.

Di Indonesia hal yang berbau seks dan percabulan hanya bisa dijadikan olok-olok dan satir politik, sementara kalau jalan-jalan ke beberapa negara lain, akan kita temukan bahwa seks dan percabulan bisa menjadi program dan materi kampanye sungguhan.

Ilona Staller, politikus mantan bintang porno Italia, terkenal dengan julukan La Cicciolina, Si Denok Montok, antara lain mengkampanyekan membuka kembali rumah bordil sebagai program politiknya. Lalu Mary Carey, kandidat gubernur California tahun 2003, berkampanye mengenai pengurangan pajak bagi operasi payudara.

Jadi, di sisi lain, program terkait seks dan ihwal percabulan bukan cuma jadi guyonan politik melainkan menjadi program serius -namun tak perlu menjadi seksis.

Di Indonesia, politikus bisa punya perempuan simpanan, menyewa seleb dengan harga luar biasa tinggi untuk kepuasan seks dan kebutuhan menepuk dada di lingkungannya, buka gambar cabul saat sidang parlemen, tapi mana mungkin jadi program atau topik kampanye.

Mereka justru akan tampil sok paling bermoral, berlomba retorika membasmi 'kemaksiatan', dan kalau tertangkap basah berduaan di kamar hotel, bisa berkilah tak tanggung-tanggung: sedang mengajari agama (sebagaimana dulu terjadi, antara lain, pada seorang 'Raja' sebuah aliran musik, R***a I***a dan pesohor A***l L***a).

Urusan seks jadi topik serius kalau dibicarakan para aktivis yang minoritas -yang akan dituduh mempromosikan budaya barat. Kalau ada yang membicarakannya serius, akan diarahkan ke urusan moral dan agama.

Di ruang publik, percakapan seks hanya muncul sebagai materi guyon, olok-olok dan lawakan satir yang sayangnya juga masih jauh sekali dari kategori humor cerdas.

Saya ingat, dahulu —sebetulnya, sampai sekarang, para 'tokoh' memperlakukan acara-acara, kumpul-kumpul resmi atau pun tidak resmi, seakan sebagai festival humor cabul, seksis, phallus centris

Kadang mereka melengkapi lawakan mutu rendah mereka itu dengan mengedip-ngedipkan alis, senyum menyeringai dan muka mesum, dan kalau 'tokoh' itu lebih senior, seperti memberi isyarat agar orang menanggapi lawakan dia dengan tawa.

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved