Bahaya Aplikasi Ponsel "Narkoba" I-Doser Khawatirkan Orangtua
Beredar kabar di media sosial bahwa sudah ada jenis narkoba baru yang dikemas dalam bentuk aplikasi ponsel pintar, yaitu I-Doser
Penulis:
Ruth Vania C
Editor:
Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Beredar kabar di media sosial dan internet bahwa sudah ada jenis narkoba baru yang dikemas dalam bentuk aplikasi ponsel pintar, yaitu I-Doser, yang bahayanya sudah dikhawatirkan oleh para orangtua masa kini.
I-Doser adalah sebuah aplikasi ponsel pintar yang dikembangkan oleh I-Doser.com dan dapat menciptakan gelombang suara binaural yang dikatakan CBS News dapat menyebabkan candu atau adiksi.
Menurut News.com.au, efek yang didapatkan setelah mendengar gelombang suara dari I-Doser adalah kondisi rileks, namun lama-lama bisa membuat si pengguna teler dan berhalusinasi, sebelum nantinya menjadi kecanduan.
Aplikasi berbayar tersebut juga menyediakan berbagai gelombang suara atau bunyi-bunyian untuk berbagai kebutuhan rekreasi otak, yang sudah disesuaikan juga dengan dosisnya.
Setelah aplikasi itu diunggah ke ponsel pintar, si pengguna dapat mendengar gelombang suara yang diinginkan melalui headphone berkualitas baik, yang sudah dikoneksikan ke ponsel.
Efek candu yang dikatakan dapat dihasilkan dari aplikasi tersebut kemudian mengundang kekhawatiran, terlebih dari orangtua yang anak-anaknya punya akses teknologi, seperti ponsel pintar.
Satu di antaranya adalah pesan berantai dari aplikasi berbalas pesan WhatsApp, yang berisi ulasan singkat soal I-Doser dan pengaruh buruknya. Pesan itu juga dijadikan peringatan untuk para orangtua.
Namun, meski pihak berwajib yang menangai narkoba di AS sudah mengategorikan I-Doser sebagai bentuk narkoba, menurut sejumlah ahli gelombang suara seperti itu malah dikatakan tidak bermasalah.
"Kecil kemungkinannya (gelombang suara itu) untuk menimbulkan masalah," ucap Harriet de Wit dari University of Chicago, meyakinkan bahwa efek teler yang dihasilkan hanya ekspektasi saja.
"Kami sudah melakukan penelitian kecil (dan mengambil sampel) empat orang. Kami tidak melihat adanya aktivitas otak yang mengikuti gelombang binaural yang mereka dengar," jelas seorang asisten profesor Oregon Health and Science University, Dr Helane Wahbeh. (CBS News/News.com.au)