Tempat Tinggal Hancur, Warga Tianjin Protes Minta Kompensasi
Berkumpulnya warga tersebut membuat sekitar 36 orang dari kepolisian dan kemiliteran memblokade akses masuk
TRIBUNNEWS.COM, TIANJIN - Sembari korban meninggal dunia akibat ledakan Tianjin meningkat hingga 114 orang, aksi protes dilakukan oleh sekitar 200 warga yang dievakuasi oleh pemerintah setempat, Senin (17/8/2015).
Ratusan warga tersebut dilaporkan Reuters berkumpul di luar sebuah hotel yang menjadi lokasi pihak berwajib setempat bertemu dengan sejumlah wartawan.
Berkumpulnya warga tersebut membuat sekitar 36 orang dari kepolisian dan kemiliteran memblokade akses masuk para warga yang sudah membawa papan bertuliskan: 'Perbaiki rumah kami, hanya itu permintaan kami', ke dalam hotel.
Protes dilayangkan demi mendapatkan kompensasi, terutama atas hancurnya tempat tinggal mereka akibat insiden ledakan di sebuah gudang penyimpanan bahan peledak dan senyawa berbahaya, yang terjadi Rabu (12/8/2015) lalu.
"Sebagian besar warga yang bermukim di sekitar sana adalah orang-orang muda dan berprofesi sebagai karyawan seperti saya. Jadi, biaya untuk beli apartemen di sana bukanlah sesuatu yang murah bagi kami," kata seorang warga, Li.
Menurut seorang warga lain, Li Jiao, aksi protes itu dilakukan hanya untuk menarik perhatian pemerintah, yang diakui hingga saat ini belum memperhatikan mereka sebagai pihak yang merasa dirugikan atas insiden itu.
Untuk menghindari imbas bahaya yang dihasilkan oleh ledakan Tianjin, sekitar 6.300 warga yang tinggal di sekitar lokasi ledakan memang sempat dievakuasi dan dialokasikan di beberapa tempat penampungan.
Di sisi lain, ketika pemerintah setempat didekati Reuters untuk membicarakan soal tuntutan kompensasi, deputi wali kota Tianjin hanya memastikan pihak yang bertanggungjawab atas ledakan ini akan dikenakan sanksi hukum.
Dikatakan oleh Fox News, pihak berwajib Tianjin juga selama ini selalu sulit dimintai keterangan soal izin operasi gudang milik Ruihai International Logistics yang menyimpan berton-ton senyawa sodium sianida itu. (Reuters/Fox News)