Pekerja Magang PBB di Swiss Berhenti Usai Ketahuan Tinggal di Tenda
Pekerjaan sebagai magang di markas PBB itu sangat bergengsi, tetapi mereka tidak mendapat bayaran.
TRIBUNNEWS.COM, SWISS — Seorang pemuda asal Selandia Baru yang bekerja sebagai magang di markas PBB di Geneva memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya setelah muncul berita bahwa dia tidur di sebuah tenda karena tidak sanggup membiayai hidupnya di Swiss.
Pekerjaan sebagai magang di markas PBB itu sangat bergengsi, tetapi mereka tidak mendapat bayaran.
David Hyde, 22 tahun, lulusan Program Studi Hubungan Internasional, menjadi pemberitaan sebuah surat kabar di Swiss dengan kisah bahwa dia kesulitan membiayai hidupnya karena mahalnya kehidupan di sana.
Dalam pemberitaan di harian The Tribune de Geneve, diperlihatkan Hyde mengenakan jas lengkap dengan kartu identitas PBB tergantung di lehernya, dan di sebelahnya ada sebuah tenda biru dan kasur busa. Hyde hidup dengan berkemah di dekat Danau Geneva.
Setelah munculnya berita tersebut pada Selasa (11/8/2015), banyak kecaman maupun simpati yang didapat Hyde.
Namun, keesokan harinya, Hyde mengatakan, dia memutuskan untuk mengundurkan diri.
"Ini keputusan saya sendiri dan saya memilih mundur karena saya merasa akan terlalu sulit untuk memfokuskan diri pada pekerjaan saya saat ini karena adanya pemberitaan," kata Hyde yang memulai pekerjaannya sebagai magang pada dua minggu lalu.
Kepada Tribune de Geneve, Hyde mengatakan, orangtuanya di Selandia Baru sangat bangga ketika dia mendapatkan kesempatan bermagang di PBB. Namun, keluarganya tidak tahu dia harus hidup di tenda karena sewa akomodasi di Geneva merupakan salah satu yang paling mahal di dunia.
"Saya ingin menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun yang memaksa saya tinggal di tenda. Namun, keadaaan dan kondisi bermagang ini yang membuat saya harus melakukan hal tersebut," katanya lagi.
Hyde mengaku telah berbohong dalam proses wawancara ketika ditanya apakah dia akan mampu membiayai dirinya sendiri di Geneva.
"PBB dari awal sudah jelas mengatakan tidak ada gaji, tidak ada bantuan transportasi, tidak ada bantuan kesehatan, dan makanan," katanya.
"Saya mengerti itu semua dan dalam soal ini memang tanggung jawab saya ketika memutuskan menerima kesempatan bermagang tersebut," ujarnya.
Namun, menurut Hyde, kebijakan tersebut tidaklah adil.
Sebuah kelompok bernama Generation Precarious yang berlokasi di Perancis mengecam kebijakan PBB tersebut dan mengatakan lembaga dunia tersebut harusnya menjadi contoh.
"PBB seharusnya tidak membuat kesenjangan antara apa yang mereka katakan mengenai hak buruh dan apa yang mereka lakukan sendiri," kata lembaga tersebut.