Keakraban Budaya di Tengah Ketegangan Maritim
Usman Haji Mohamed Ali dan Harun Said merupakan dua prajurit Korps Komando Operasi (KKO) TNI AL, yang tewas setelah dihukum
Lantas, apakah ada cibiran dan cemoohan? Ternyata kekhawatiran awal itu berlebihan. Pembawa acara justru mengatakan Indonesia sebagai "our partner" dan "our friend" alias teman kita. Aplaus panjang bermuatan apresiasi pun membahana dari tribun penonton dan tribun kehormatan, tanpa ada "huuuu", baik panjang dan pendek.
Ternyata, polemik hangat yang sempat terjadi di ranah maritim, terlebih menjelang ajang Singapore Air Show, tidak berlanjut di ranah budaya. Yang ada justru keakraban. Yang terbit adalah saling menghargai dan mengagumi budaya sesama negeri jiran.
Menjelang dan sesudah tampil pun, seluruh kontingen lintas bangsa berbaur dengan akrab. Bahkan tidak sedikit pengisi acara dari Singapura yang antre untuk berfoto bersama penari Dayak Kayan dan Kenyah asal Kutai Timur. Tidak tampak "gesekan sosial" disana.
Mengapa ketegangan maritim tak berujung pada ketegangan di ranah budaya? Entah, mungkin publik kedua negara, yang direpresentasikan kontingennya, cukup dewasa menyikapi isu kepentingan nasional. Atau isu maritim dinilai relatif tidak "seksi" diperdebatkan, sehingga lebih penting membangun kebersamaan di ajang global Chingay.
Yang jelas, pada festival tahun ini, kontingen Indonesia tampil penuh pesona melalui lima tim kesenian dari daerah yang berbeda. Khusus untuk tim kesenian Kutai Timur, juga didukung oleh para pelajar dari Sekolah Indonesia Singapura (SIS). Para pelajar tersebut mampu berkolaborasi meskipun hanya melalui latihan yang singkat.
Jumat malam, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, menandai pembukaan dengan pelepasan kembang api yang semarak dari atas kereta parade berbentuk hati merah raksasa. Keesokan malamnya, sang presiden yang menutup acara.
Seluruh kontingen menampilkan seni andalannya sesuai urutan dari panitia. Di sirkuit formula 1 tersebut, masing-masing kontingen berjalan selama 2,5 menit lalu menampilkan atraksi seninya sekitar 2 menit. Hal ini terus dilakukan hingga garis akhir, sampai urutan kontingen berakhir.
Tahun ini tim kesenian dari Sanggar Greget Semarang menjadi tim inti kontingen Indonesia. Mereka menampilkan kreasi tari topeng. Sedangkan lima tim lain menjadi tim pendukung, yang melakukan kreasi tari mengikuti musik tim utama.
Ketua Kontingen Tim Greget, Semarang, Yoyok B Priyambodo, bertekad untuk memberikan penampilan terbaik. Demikian pula dengan Ketua Kontingen Kutai Timur, Halidin Katung. Mereka berharap budaya Indonesia yang kaya bisa memikat mata dunia.
"Alhamdulillaah, penampilan kami memuaskan dan sesuai target," kata Halidin.
Parade Chingay sebagai bagian peringatan tahun baru Chinese dimulai pada tahun 1973. Awalnya, hanya elemen kultural Chinese yang berpartisipasi. Namun saat ini parade tersebut berevolusi menjadi salah satu parade jalanan terbesar di Asia, yang menujukkan kekayaan multikulturalisme Singapura dan Budaya Global.
Chingay 2014 bertema "Colours of Fabric, One People". Tema ini direfleksikan dengan pembuatan seni batik (batik painting) dan seni rajut raksasa yang dikerjakaan ribuan orang dari berbagai komunitas seni di Singapura, yang berasal dari usia, ras, status, dan latar belakang yang beragam. Batik dan rajutan raksasa itu pun ditampilkan secara simbolis sebagai penutup acara. (*/bersambung)