Keakraban Budaya di Tengah Ketegangan Maritim
Usman Haji Mohamed Ali dan Harun Said merupakan dua prajurit Korps Komando Operasi (KKO) TNI AL, yang tewas setelah dihukum
Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Kholish Chered
Chingay-Chingay, we are one...
People-people, we are one...
Parade-parade, we are one...
Singapore-Singapore, we are one...
YEL-yel tersebut membahana di seantero kawasan F1 Pit Building, Singapura, Jumat (7/2/2014) malam. Lebih dari 80.000 penonton dan belasan ribu pengisi acara kompak meneriakkannya di ujung malam pembukaan Chingay Parade 2014.
Begitu semarak, begitu berwarna, begitu berenergi. Didukung kekuatan soundsystem dan permainan cahaya yang dahsyat berbasis high-tech, parade budaya lintas bangsa itu dimulai. Sang Perdana Menteri, Lee Hsien Loong, pun larut dalam kegembiraan.
Sekitar pukul 23.00 waktu setempat, seluruh kontingen pun kembali ke basecamp-nya dengan gembira. Sembari berharap bisa menampilkan sajian seni yang lebih baik dan indah di malam penutupan keesokannya.
Sabtu (8/2/2014) pagi, beberapa awak delegasi Indonesia mencari koran setempat. Berharap ada berita ciamik tentang performa seniman global semalam. Yes, sebuah foto menghiasi halaman pertama koran ternama Singapura, Today.
Foto nan hidup tentang kegembiraan penonton Chingay Parade yang tersenyum lebar memegang syal bertuliskan "one people", slogan terkenal tentang spirit persatuan dalam keberagaman (unity in diversity) di Singapura.
Namun mata Tribun tertuju pada headline koran Today hari itu. Intinya, pemerintah negeri singa menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan secara terbuka terkait rencana TNI memberi nama salah satu Kapal Republik Indonesia (KRI) dengan nama KRI Usman-Harun. Selain Today, beberapa media ternama menyoroti hal yang sama secara intens.
Seperti diketahui, Usman Haji Mohamed Ali dan Harun Said merupakan dua prajurit Korps Komando Operasi (KKO) TNI AL, yang tewas setelah dihukum mati oleh pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968.
Keduanya tertangkap setelah melakukan pengeboman di MacDonald House di Orchard Road, Singapura, pada 10 Maret 1965 yang menewaskan tiga orang dan melukai 33 orang.
Tindakan pengeboman itu ditujukan untuk menjalankan tugas tanggung jawab mereka sebagai prajurit dalam membela bangsa Indonesia. Karena itu, bangsa Indonesia menganggap keduanya sebagai pahlawan nasional. Namun Singapura menganggap Indonesia "tidak sensitif pada hubungan persahabatan bilateral" dengan pemberian nama KRI tersebut.
Tribun saat ini tidak ingin berpolemik tentang substansi masalah tersebut. Yang sempat dikhawatirkan beberapa orang anggota kontingen Indonesia pagi itu adalah dibawanya urusan maritim ini ke wilayah kebudayaan, khususnya di ajang Chingay Parade 2014, yang diikuti Indonesia.
Kekhawatiran yang muncul adalah apakah akan ada cibiran dan ejekan sinis saat kontingen Indonesia menampilkan keseniannya di parade itu. Apakah akan ada teriakan "huuu" yang membahana dari tribun penonton, yang ujung-ujungnya memperburuk situasi. Namun kekhawatiran ini lebih banyak disimpan dalam diam dibandingkan dibahas panjang.
Malam penutupan pun dimulai. Presiden Singapura, Tony Tan Keng Yam, hadir langsung di arena megah itu. Giliran demi giliran, tibalah saat penampilan kontingen Indonesia, yang diwakili lima elemen dari daerah yang berbeda.
Para seniman dari Purwakarta, Kutai Timur (tim kesenian Desa Miau Baru dan Long Noran binaan Lembaga Pembinaan Kebudaayaan Daerah Kabupaten Kutai Timur (LPKDKTT), Semarang (sanggar seni Greget), Jember Fashion Carnaval (JFC), serta SMPN Ngamprah Bandung, pun memamerkan aksinya.
Lantas, apakah ada cibiran dan cemoohan? Ternyata kekhawatiran awal itu berlebihan. Pembawa acara justru mengatakan Indonesia sebagai "our partner" dan "our friend" alias teman kita. Aplaus panjang bermuatan apresiasi pun membahana dari tribun penonton dan tribun kehormatan, tanpa ada "huuuu", baik panjang dan pendek.
Ternyata, polemik hangat yang sempat terjadi di ranah maritim, terlebih menjelang ajang Singapore Air Show, tidak berlanjut di ranah budaya. Yang ada justru keakraban. Yang terbit adalah saling menghargai dan mengagumi budaya sesama negeri jiran.
Menjelang dan sesudah tampil pun, seluruh kontingen lintas bangsa berbaur dengan akrab. Bahkan tidak sedikit pengisi acara dari Singapura yang antre untuk berfoto bersama penari Dayak Kayan dan Kenyah asal Kutai Timur. Tidak tampak "gesekan sosial" disana.
Mengapa ketegangan maritim tak berujung pada ketegangan di ranah budaya? Entah, mungkin publik kedua negara, yang direpresentasikan kontingennya, cukup dewasa menyikapi isu kepentingan nasional. Atau isu maritim dinilai relatif tidak "seksi" diperdebatkan, sehingga lebih penting membangun kebersamaan di ajang global Chingay.
Yang jelas, pada festival tahun ini, kontingen Indonesia tampil penuh pesona melalui lima tim kesenian dari daerah yang berbeda. Khusus untuk tim kesenian Kutai Timur, juga didukung oleh para pelajar dari Sekolah Indonesia Singapura (SIS). Para pelajar tersebut mampu berkolaborasi meskipun hanya melalui latihan yang singkat.
Jumat malam, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, menandai pembukaan dengan pelepasan kembang api yang semarak dari atas kereta parade berbentuk hati merah raksasa. Keesokan malamnya, sang presiden yang menutup acara.
Seluruh kontingen menampilkan seni andalannya sesuai urutan dari panitia. Di sirkuit formula 1 tersebut, masing-masing kontingen berjalan selama 2,5 menit lalu menampilkan atraksi seninya sekitar 2 menit. Hal ini terus dilakukan hingga garis akhir, sampai urutan kontingen berakhir.
Tahun ini tim kesenian dari Sanggar Greget Semarang menjadi tim inti kontingen Indonesia. Mereka menampilkan kreasi tari topeng. Sedangkan lima tim lain menjadi tim pendukung, yang melakukan kreasi tari mengikuti musik tim utama.
Ketua Kontingen Tim Greget, Semarang, Yoyok B Priyambodo, bertekad untuk memberikan penampilan terbaik. Demikian pula dengan Ketua Kontingen Kutai Timur, Halidin Katung. Mereka berharap budaya Indonesia yang kaya bisa memikat mata dunia.
"Alhamdulillaah, penampilan kami memuaskan dan sesuai target," kata Halidin.
Parade Chingay sebagai bagian peringatan tahun baru Chinese dimulai pada tahun 1973. Awalnya, hanya elemen kultural Chinese yang berpartisipasi. Namun saat ini parade tersebut berevolusi menjadi salah satu parade jalanan terbesar di Asia, yang menujukkan kekayaan multikulturalisme Singapura dan Budaya Global.
Chingay 2014 bertema "Colours of Fabric, One People". Tema ini direfleksikan dengan pembuatan seni batik (batik painting) dan seni rajut raksasa yang dikerjakaan ribuan orang dari berbagai komunitas seni di Singapura, yang berasal dari usia, ras, status, dan latar belakang yang beragam. Batik dan rajutan raksasa itu pun ditampilkan secara simbolis sebagai penutup acara. (*/bersambung)