II World Media Summit
Social Media: Pencuri Makan Siang Produk Generasi Baru
Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dan Larry Page menyusun nilai-nilai baru. Kita hidup dalam nilai mereka. Sekarang!

Daniele percaya, bisnis utama media tradisional adalah news, bukan voice.
Agar lebih jelas: Bayangkanlah informasi sebagai bermain bola. Semua orang bisa bermain bola tapi tidak semua pemain bola bisa menjadi pemain profesional.
Persis seperti itu: Semua orang bisa menghasilkan informasi, tapi tidak semua informasi itu lahir dari wartawan.
Informasi dicari oleh wartawan dengan standar etik profesinya yang diatur sebegitu rupa agar melindungi publik, dan dipublikasikan dengan standar etik pers yang juga diatur sebegitu rupa agar tujuannya tidak lain adalah melindungi publik.
Dengan demikian, news dan voice berbeda dari cara dan motif memperoleh maupun menyebarluaskannya.
Jadi, kata Daniele, pers harus fokus kepada bisnis intinya sebagai penyebar news dan jangan sampai tergoda ikut-ikutan menyebarluaskan voice.
Jawaban kedua adalah larut dan terlibat dalam trend social media lalu manfatkan. Finlandia menerapkan pendekaan ini. Media online tradisional tetap berjalan tapi membuka ruang partisipasi pembaca lebih lebar namun selektif melalui blogger community yang dimoderasi.
Dimoderasi artinya blogger mengirim artikel dan diperiksa tim editor sesuai prinsip dan nilai media tradisional sebelum di-publish.
Pendekatan ketiga, belajarlah pada karakter televisi dan radio. Televisi memproduksi video, sedangan radio memproduksi suara.
Secara tradisional, televisi bericara dari atas ke bawah, top down, tapi radio tidak. Stasiun radio sejak awal melibakan pendengar jauh sebelum era web 2.0 populer di internet.
Prinsip utama web 2.0 adalah partisipasi users dan itu sebenarnya adalah karakter khas radio. Selain musik, kita mengenal radio sebagai omong-omong, ya omongan penyiar ya omongan pemirsa.
Radio datang dengan kultur egaliter di mana penyiar melihat diri mereka bukan sebagai guru tapi sebagai teman pemirsa. Karena itulah radio menarik dan saya kira menjadi pelopor konsep co-creation dari sisi news dan voice.
"Masa depan kita sebenarnya terletak pada integrasi (karakter) antara radio dan social media," kata pembicara dari Bulgaria.
Berbeda dari radio, televisi agak kesulitan melibatkan penonton karena di sana ada urusan ribet dan mahal soal teknologi dan jaringan.
Lagi pula, penyiar televisi berpakaian lebih rapi, melihat diri mereka berdiri di balkon megah, sementara mereka menganggap pemirsa mereka duduk di alun-alun, siap mendengarkan. Televisi tidak siap jika seketika pemirsa ingin bicara, ingin terlibat.
Saya kira, sebagian pengelola koran juga melihat diri mereka seperti ini. Konsep egaliter di radio terkadang tidak terlihat di surat kabar.
Banyak pengelola surat kabar yang masih percaya bahwa mereka adalah penguasa informasi, padahal era itu sudah lama berakhir.
Ini era abudance, era melubernya informasi. Era scarcity ketika hanya media tradisional yang bisa memperoleh dan menyebarluaskan informasi sudah masuk ke laci sejarah.