Pilkada Serentak 2024
Calon Tunggal di Pilkada 2024 Meningkat, Akademisi: Ini Sisi Gelap Demokrasi, Meski Legal
Mudiyati Rahmatunnisa, menyoroti fenomena semakin maraknya calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.
Penulis:
Chaerul Umam
Editor:
Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Mudiyati Rahmatunnisa, menyoroti fenomena semakin maraknya calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.
Berdasarkan data yang disampaikannya Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi II DPR RI, terdapat 37 pasangan calon tunggal yang akan bertarung di Pilkada 2024.
Mudiyati menilai, fenomena ini mengindikasikan sejumlah masalah mendasar yang berpotensi merusak kualitas demokrasi di Indonesia.
Hal itu disampaikannya dalam RDPU dengan Komisi II DPR RI, membahas Sistem Politik dan Sistem Pemilu untuk Perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.
“Ini sebetulnya mengindikasikan banyak hal, di antaranya kegagalan partai politik mengusung kadernya. Ini merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi partai politik,” kata Mudiyati di Ruang Rapat Komisi II DPR RI, Senayan, Jakarta.
Sebab itu, menurut dia pembahasan mengenai pemilu tidak dapat mengabaikan soal pelembagaan partai politik yang mungkin akan diatur dalam undang-undang (UU) partai politik ke depan.
Mudiyati juga mengungkapkan bahwa tren meningkatnya jumlah pasangan calon tunggal menunjukkan penurunan kualitas demokrasi.
"Pilkada seharusnya memberikan pilihan bagi rakyat. Tapi dengan adanya calon tunggal, esensi dari kompetisi itu menjadi hilang. Masyarakat hanya diberikan pilihan setuju atau tidak setuju melalui kotak kosong. Menurut saya, ini adalah sisi gelap (demokrasi), meskipun legal,” ucapnya.
Selain itu, Mudiyati mengungkapkan bahwa calon tunggal berdampak buruk terhadap akuntabilitas pemerintah daerah.
Tanpa adanya lawan yang kuat, calon tunggal cenderung tidak memiliki insentif untuk menawarkan program-program yang lebih baik.
"Calon tunggal berimplikasi kepada berkurangnya akuntabilitas pemerintah daerah, karena tanpa lawan yang kuat, calon tunggal tidak punya insentif untuk mempromosikan program yang lebih baik,” katanya.
Fenomena calon tunggal juga, menurut Mudiyati, dapat menguatkan politik transaksional.
Banyak partai politik lebih memilih untuk bergabung dengan calon kuat daripada mengusung kadernya sendiri.
"Partai lebih memilih bergabung dengan calon kuat, bukannya mengusung kadernya sendiri. Ini bisa menciptakan politik transaksional yang merugikan kualitas demokrasi,” ucapnya.
Mudiyati juga menyoroti potensi risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang meningkat jika calon kepala daerah tidak memiliki kontrol oposisi yang kuat.
Pilkada Serentak 2024
Bawaslu Akan Menindaklanjuti Semua Temuan Awal di PSU Pilgub Papua |
---|
Wamendagri Ribka Haluk Berharap Pemungutan Suara Ulang di 3 Daerah Hari Ini Jadi yang Terakhir |
---|
Tinjau Pencoblosan PSU Pilgub Papua, Bawaslu RI Belum Dapati Temuan Lapangan |
---|
Air Sungai Kering Hambat Distribusi Logistik PSU Pilgub Papua, 2 Distrik Berpotensi Coblos Susulan |
---|
KPU - Bawaslu Bakar 2.884 Surat Suara PSU Pilgub Papua Rusak dan Berlebih di Kota Jayapura |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.