Virus Corona
Covid-19 Berpotensi Sebabkan Gangguan Otak, Penelitian Ungkap Pasien Halusinasi hingga Otak Bengkak
Baru-baru ini sebuah studi mengungkapkan bahwa gangguan otak merupakan salah satu gejala Covid-19, penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2.
Masalah neurologis lain dialami pasien Covid-19 yang berusia antara 16-85 tahun.
Pada usi-usia itu, pasien kebanyakan mengalami kasus delirium atau psikosis, yakni stroke dan masalah dengan saraf perifer yang ditemukan pada ekstremitas seperti tangan dan kaki.
Jurnal menjelaskan bahwa ada 9 pasien yang diiagnosis mengalami Acute Demyelinating Encephalomyelitis (ADEM) akut, di mana sistem kekebalan tubuh diperkirakan menyerang mielin, selubung isolasi saraf di sistem saraf pusat.
Jika mielin tidak ada atau tidak cukup tebal, saraf akan kehilangan kemampuan mentransmisikan informasi secara efektif.
Selain itu akan terjadi berbagai gejala termasuk kelumpuhan dan masalah kognitif.
ADEM jarang terjadi, namun diagnosa gangguan ini kebanyakan terjadi kepada anak-anak setelah terinfeksi virus.
Namun jurnal ini mengambil contoh kasus ADEM kepada wanita dewasa.
Setelah sepekan mengalami gejala Covid-19, wanita 47 tahun itu didiagnosa gangguan neurologis dan ADEM.
Otaknya mengalami pembengkakan sehingga ahli bedah harus mengoperasi tengkoraknya untuk mengurangi tekanan.
Dr Michael Zandi, konsultan ahli saraf dari University College London Hospitals dan salah satu penulis makalah senior mengatkan bahwa gangguan otak pada pasien Covid-19 memerlukan penelitian lebih lanjut secara global.
Namun studi yang rilis baru-baru ini memberikan informasi tambahan mengenai spektrum besar berbagai penyakit otak yang dapat disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2.
Inggris memiliki program pengawasan, Coro Nerve untuk mengantisipasi hal ini.
Jadi dokter bisa melaporkan gejala neurologis Covid-19 dengan harapan dapat lebih memahami efek virus corona pada otak.
Fakta ini menambah kekhawatiran Covid-19 akan menyebabkan pasien yang selamat mengalami kondisi kesehatan kronis.
Meskipun komplikasi neurologis yang serius tampaknya jarang terjadi, para peneliti memperingatkan hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)