Tekan Backlog Perumahan Tak Bisa Asal Bangun, Perlu Riset Segmen Mana yang Membutuhkan
Prabowo Subianto diminta segera mengatasi kebutuhan hunian layak terutama untuk masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah
Penulis:
Choirul Arifin
Editor:
Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto diminta segera mengatasi kebutuhan hunian layak terutama untuk masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.
Angka backlog perumahan di Indonesia tahun 2025 menurut keterangan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah mencapai 15 juta unit pada 2025.
Jumlahnya naik 51,5 persen dari data Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya sebesar 9,9 juta unit per 2023.
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan program pembangunan 3 juta unit rumah untuk mengatasi backlog perumahan dan menyediakan hunian layak bagi masyarakat sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional.
Para pengembang yang tergabung dalam Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) sudah meminta pemerintah agar membuka lebih banyak opsi kepemilikan rumah.
Ini terutama karena banyak masyarakat gagal mengajukan permohonan akibat terhambat oleh Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Direktur Utama PT Askrindo M Fankar Umran mengatakan, BUMN seperti Perum Perumnas perlu dilibatkan membangun hunian untuk mengatasi backlog perumahan terutama di kawasan perkotaan dan kawasan yang berdekatan dengan kawasan industri.
"Perumnas perlu dilibatkan untuk membangun hunian di tengah kota seperti di Jakarta untuk atasi backlog perumahan ini. Misalnya dengan memanfaatkan lahan milik negara di Kemayoran."
"Bisa dengan cara bangun 10 tower yang bisa mengakomodir 10.000 penghuni. Akses ke tempat bekerja bisa lebih mudah. Hal ini akan membuka peluang aktivitas ekonomi baru bagi warganya selain juga menciptakan sentra bisnis baru."
Baca juga: Skema Sewa Beli Dinilai Bisa Atasi Backlog Hunian dan Kepemilikan Rumah
"Di kota memang sulit cari lahan di tengah kota tapi lahan milik pemerintah masih banyak," ujarnya di acara Diskusi Meja Bundar bertajuk Tabungan, Asuransi Mikro dan Pembangunan Perumahan: Jalan Baru Mengatasi Backlog Perumahan, Jumat malam, 26 September 2025.
Dia menyebutkan, kawasan industri seperti di Karawang juga berpeluang dibangun pusat hunian untuk memenuhi kebutuhan para pekerja, yang lokasinya berdekatan dengan tempat mereka bekerja.

Mengutip data Kementrian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), 80 sa,pai 90 persen backlog itu terjadi kepada pengusaha kecil yang tidak punya cash flow yang memadai.
Dia menilai, gagalnya upaya mengatasi backlog perumahan selama ini karena tidak cocoknya antara permintaan dan penawaran.
“Kalau kita perhatikan, rumah di kompleks perumahan, juga rumah-rumah subsidi itu banyak yang kosong. Bahkan ada juga tidak laku. Kenapa? Karena tidak sesuai peruntukannya, siapa yang butuh rumah, siapa yang dibangunkan rumah,” terang Fankar.
Baca juga: Pengembangan Hunian Vertikal yang Layak dan Terjangkau di Perkotaan Tekan Backlog Perumahan
Karena itu, harus ada perubahan mendasar di segala sektor, termasuk perbankan. Agar kredit menyesuaikan dengan kebutuhan nasabah.
Hal lain yang tak kalah penting adalah solusi atas harga tanah yang mahal. “Mari kita pikirkan untuk libatkan lembaga-lembaga yang punya tanah. Misalnya agraria, pemerintah daerah, dan bank tanah. Pemerintah juga bisa siapkan tanah terlantar,” ujarnya.
Masalah kedua, adalah harga rumah mahal. “Kita bisa melibatkan BUMN yang bisa berkontribusi dengan memberikan diskon dalam pembangunan rumah. Misalnya sekitar 10 atau 20 persen untuk BUMN penyedia baja, semen, listrik dan lain lain,” katanya.
Ekonom BRI Ramadani Partama dalam risetnya mendapati temuan bahwa salah satu faktor orang membeli rumah adalah kemudahan akses menuju tempat kerja.
“Preferensi dari temuan kami, salah satu hal yang penting orang itu mau beli rumah adalah literasi terhadap housing policy. Apalagi kepada masyarakat berpenghasilan rendah, dimana tingkat edukasinya itu cenderung relatif rendah. Jadi komunikasinya harus jelas,” bebernya.
Ramadani Partama, mengatakan, masalah utama backlog perumahan di Indonesia adalah keterjangkauan harga.
Karena itu, hunian murah yang dijual ke masyarakat berpenghasilan rendah harus benar-benar terjangkau dan mendapatkan dukungan subsidi bunga dari pemerintah.
"Bagi bank meski sudah ada alokasi subsidi pemerintah tapi dari hitung hitungan bank menyatakan, sulit bagi mereka untuk mendapatkan hunian layak."
"Political will pemerintah diperlukan karena hanya pemerintah yang punya power untuk jalankan program hunian untuk MBR," tegasnya.
Terkait temuan tersebut, Fankar sependapat bahwa preferensi Gen Z membeli rumah karena faktor lokasi. "Karena itu, untuk mengatasi backlog perumahan tidak bisa dengan cara asal bangun. Perlu menyesuaikan dengan preferensi di kebutuhan masyarakat," ujarnya mengingatkan.
"Penyediaan hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah juga perlu trintegrasi misalnya dengan memaksukkan mereka ke program asuransi mikro yang preminya hanya sekitar Rp50 ribu per tahun."
Baca juga: Backlog Perumahan Indonesia Tembus 15 Juta, Wamen Fahri Hamzah: Kabar Baik Bagi Pengembang
"Tapi ini harus ada political will pemerintah untuk jalankan hal ini. Yang terjadi sekarang, banyak rumah baru dibangun tapi nggak terjual karena yang beli bukan mayarakat yang belum beli rumah. Tapi investor untuk disewakan lagi," ungkap Fankar Umran.
"Jadi nggak ketemu antara demand dan supply. Untuk mengatasi backlog perumahan harus ada penelitian dulu. Siapa yang butuh, di mana lokasinya akan dibangun," imbuhnya.
Mamay Sukaesih, Senior Industry and Regional Analyst Bank Mandiri berpendapat, keterlibatan BUMN untuk membangun rumah demi menyukseskan program 3 juta rumah oleh pemerintah sangat diperlukan.
Apalagi saat ini, industri semen mengalami oversupply. "Apabila program 3 juta rumah ini didorong berarti bisa menyerap produksi yang ada,” ungkapnya.
Dekan Fakultas Sains Terapan dan Teknologi, Institut Sains dan Teknogi Nasional (ISTN) Kun Wardana Abyoto mengatakan, pekerja menginginkan perumahan yang dekat dengan lokasi kerja.
Karena jarak jauh itu meningkatkan biaya transportasi. Dan, banyak sekali perumahan-perumahan yang minim layanan transportasi. Karena dengan jarak antara rumah dan tempat kerja yang dekat dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Meski demikian, ia melihat keterjangkauan harga menjadi masalah utamanya. Banyak dari para pekerja MBR, tidak memiliki kemampuan untuk membeli rumah, karena gaji yang terbatas. Tak hanya itu, mereka juga tidak punya agunan, tidak punya riwayat melakukan kredit, sehingga cukup sulit untuk bisa mendapatkan kredit.
Kun Wardana menekankan pentingnya peran negara, jadi sebisa mungkin negara hadir, jangan dilepas ke mekanisme pasar, tetapi negara bisa memberikan kemudahan-kemudahan, khususnya untuk para pekerja.
Pekerja, selain mendapatkan jaminan kesehatan, jaminan sosial, upah layak juga berhak mendapat rumah yang layak. Karena, dengan itu, akan meningkatkan kualitas hidup.
Menurut Frits H. Soejoedi, CEO UI Leadership Development Center, keterjangkauan harga rumah jadi masalah utama dalam penyediaan hunian layak di Indonesia.
Mamay Sukaesih menilai, mayoritas backlog perumahan ataupun yang tidak layak huni, 45-50 persen berasal dari pekerja sektor informal.

Kendala dari sisi perbankan selama ini adalah penilaian kelayakan seseorang menerima kredit perumahan selalu mengacu pada data historis pola pendapatannya, dan pola pengeluarannya.
Ekonom dan Dewan Pembina Indonesia Roundtable of Young Economists (INRY) Harryadin Mahardika mengatakan, di kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto ada kesempatan bagi pemerintah untuk berpihak pada masyarakat dalam penyediaan hunian layak ini.
"Ketika Pak Prabowo mengangkat Pak Purbaya Yudhi Sadewa sebagai menteri keuangan, dia sangat paham bahwa tugas negara adalah mendistribusikan kesejahteraan ke masyarakat," ungkapnya.
"Bagi perbankan, perumahan jadi salah satu sumber utama pendapatannya. Banyak rumah tak laku tapi harga terus naik. Itu semua mengakibatkan kenaikan harga rumah makin tak terkejar oleh masyarakat berpendapat menengah ke bawah. Distorsi yang terjadi sudah sangat jauh."
"Karena itu, negara harus mengusung konsep baru hunian untuk mengatasi backlog perumahan in, misalnya dengan memperkenalkan sistem sewa dan hunian tersebut bisa disewa oleh masyarakat dengan biaya murah," sebutnya.
Permintaan Hunian di Kawasan Pusat Bisnis Meningkat di Awal Tahun |
![]() |
---|
Gelar Safari Ramadan di 7 Kota, Askrindo Bangun Kebersamaan Peduli Anak Yatim |
![]() |
---|
Bali Jadi Destinasi Wellness Living Paling Diminati di Dunia, Seperti Apa Konsepnya? |
![]() |
---|
Hunian Ramah Lingkungan Kian Diminati Tahun Ini |
![]() |
---|
ASG EXPO 2025: Rayakan Keberagaman Budaya Nusantara dalam Pameran Properti Bertema Wastra Nusantara |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.