Sabtu, 4 Oktober 2025

Industri TPT Tolak Bea Masuk Antidumping Benang POY dan DTY

Penerapan bea masuk antidumping ini mengacu pada rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan RI

|
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
TOLAK BEA MASUK - Suasana pameran industri tekstil dan garmen Indo Intertex 2023 di Hall C1, JIExpo, Kemayoran, Jakarta. Pelaku industri tekstil dan produk tekstil Tanah Air keberatan atas penerapan bea masuk anti dumping (BMAD) atas produk benang filamen sintetik tertentu (POY dan DTY) yang diimpor dari China.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaku industri tekstil dan produk tekstil Tanah Air menolak penerapan bea masuk anti dumping (BMAD) atas produk benang filamen sintetik tertentu (POY dan DTY) yang diimpor dari China. 

Ini karena hal tersebut berpotensi memperburuk kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional karena akan menyebabkan peningkatan biaya produksi dan terganggunya penyediaan stok bahan baku.

Selain itu hal tersebut juga dikhawatirkan akan menekan daya saing pelaku usaha, terutama usaha kecil dan merengah (UKM) yang sangat bergantung pada efisiensi bahan baku impor.

Penerapan bea masuk antidumping ini mengacu pada rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan RI.

Wacana Bea Masuk Anti Dumping terhadap benang POY dan DTY terus ditentang oleh para Industri tekstil karena akan berdampak pada ekosistem industri tekstil terberat akan gulung tikar sehingga menyebabkan PHK masal.

Salah satu produsen benang asal Bandung, Amril Firdaus mengungkapkan, permasalahan BMAD sudah dari setahun lalu berdasarkan dari surat penyelidikan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).

"Kami juga bersurat bahwa kami mengimpor bahan baku dalam hal ini POY dan apabila masuk anti dumping maka kami akan kesulitan bahan baku," ujar Firdaus di Bandung.

Firdaus mengungkapkan, kebutuhan benang dalam negeri berdasarkan hiring yang diketahuinya masih sangat jauh sekali angkanya.

"Apabila BMAD terhadap POY dan DTY tetap dilakukan maka sangat berimpact terhadap pabrik kami bahkan bisa langsung tutup karena bahan baku pasti naik," ujarnya.

Dia menjelaskan, saat ini dirinya mendapatkan untung sekitar 500-1.000 rupiah untuk hasil jadi barangnya apabila BMAD naik sebesar 5 persen saja maka modalnya akan naik sebesar 1.500 maka akan minus dan pasti akan menutup pabriknya.

"Kami meminta perlindungan kepada pemerintah untuk melindungi industri tekstil, apabila naik 5 persen saja kami sudah mati, sedangkan hasil laporan terakhir angkanya antara 5-40 persen," tegasnya.

Saat ini, dia bersama dengan ratusan industri tekstik lainnya tengah melakukan penolakan terhadap BMAD, serta telah mengajukan data data kepada KADI dalam hiring data. 

Baca juga: Ekonom Ingatkan Gelombang PHK di Industri Tekstil, Pemerintah Jangan Hanya Kejar Tax Ratio

"Dampaknya akan sangat besar jika tetap di berlakukan BMAD ini, bukannya saya anti BMAD akan tetapi kalau BMAD itu dilakukan untuk produk jadi seperti kain atau garmen itu saya sangat setuju untuk melindungi industri tekstil di Indonesia," tegasnya.

Dia percaya apabila pemerintah lebih memperhatikan industri tekstil dia yakin Indonesia bisa bangkit dan bahkan menjadi negara swasembada tekstil.

"Saya yakin Indonesia bisa swasembada tekstil seperti tahun 1990an dimasa kejayaannya Indonesia bahkan China pun menjadi costomer Indonesia," ujarnya.

Pemerintah Diminta Lindungi Industri Dalam Negeri

Sementara itu, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) meminta Pemerintah melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri sehubungan dengan terjadinya lonjakan tarif impor barang ke AS yang diberlakukan pemerintahan Presiden Donald Trump.

Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta dikutip Kontan (20/4/2025) mengatakan, meski tarif untuk China dan Vietnam lebih tinggi, posisi Indonesia tetap tidak menguntungkan karena kalah bersaing dengan negara seperti India dan Pakistan yang mendapat tarif lebih rendah.

"Tambahan tarif ini tentu mengurangi daya saing kita secara signifikan. Bahkan, kita akan sangat kesulitan untuk bersaing dengan produk lokal AS meskipun kapasitas produksi TPT mereka terbatas," ujar Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta.

Redma menjelaskan, selama ini AS merupakan salah satu pasar utama ekspor benang dan kain dari Indonesia, termasuk benang filamen yang diproduksi oleh anggota APSyFI.

Namun, ruang ekspor semakin sempit sejak 2021 akibat praktik transhipment dari China yang membuat AS mengenakan tarif anti-dumping.

"Sekarang hanya sedikit anggota kami yang masih bisa ekspor ke AS," tambahnya. Dari sisi dampak, penurunan pesanan sudah mulai terasa meski belum terlalu besar karena ada masa penyesuaian selama 90 hari. 

Namun, gangguan produksi justru lebih dipicu oleh banjirnya pasar domestik oleh barang impor murah, bukan hanya karena penurunan ekspor.

Menurut Redma, tanpa adanya tarif baru pun, sektor TPT nasional saat ini sudah sangat tertekan. Karena itu, APSyFI mendesak pemerintah untuk lebih serius membela dan membenahi industri padat karya yang memiliki nilai tambah tinggi ini.

"Pemerintah yang sudah abai selama 10 tahun ini harus hadir dengan kebijakan yang konkret. Bukan hanya soal tarif dari AS, tapi juga membenahi hulu-hilir industri dalam negeri," katanya.

Salah satu hal mendesak menurut APSyFI adalah menjaga pasar domestik dari serbuan barang impor murah akibat oversuplai global.

“Pasar dalam negeri harus bisa jadi jaminan bagi produk nasional. Tapi sebelum itu, pemerintah harus bersih dari oknum pejabat yang punya kepentingan terhadap impor,” ujar Redma. (tribunnews/fin)

 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved