Sabtu, 4 Oktober 2025

Pemerintah Diminta Tak Terapkan BMAD, Bisa Matikan Industri Tekstil Lokal dan Picu PHK

Pemerintah diminta tidak menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) karena dikhawatirkan akan mematikan industri tekstil dalam negeri dan memicu PHK.

|
Editor: Choirul Arifin
WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
BMAD INDUSTRI TEKSTIL - Suasana pameran industri tekstil dan garmen Indo Intertex 2023 di Hall C1, JIExpo, Kemayoran, Jakarta. Pemerintah diminta tidak menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) karena dikhawatirkan akan mematikan industri tekstil dalam negeri dan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK).  

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta tidak menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) karena dikhawatirkan akan mematikan industri tekstil dalam negeri dan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Pendapat itu disampaikan pengamat kebijakan publik sekaligus Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas.

Menurut Fernando, ramainya saat ini pembahasan mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas usulan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terhadap Impor Benang Filamen Tertentu harus dilakukan perhitungan cermat atas dampaknya jika usulan ini disetujui Pemerintah RI.

Dampak negatifnya bisa menimpa industri TPT (tekstil dan produk tekstil) dalam negeri, tapi juga karyawan dan pemerintahan Prabowo.

"Kalau kita melihat usulan KADI terkait dengan besaran BMAD dari 5,12 persen sampai 42,3 persen tentu akan memberatkan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Bila melihat kebutuhan industri hulu, benang filamen sintetik seperti Partially Oriented Yarn (POY) adalah sesuatu yang vital sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tekstil," ujarnya dikutip Selasa, 20 Mei 2025.

Fernando menjelaskan, apabila melihat data kebutuhan POY industri tekstil dalam negeri setiap tahunnya mencapai 257.680.000 kg.

Sedangkan ketersediaan POY setiap tahunnya hanya 141.917.000 kg sehingga masih ada kekurangan sekitar 115.763.000 kg untuk memenuhi kebutuhan industri TPT dalam negeri.

"Sehingga kalau dilakukan penerapan BMAD maka akan sangat berdampak terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai 1 juta serta 5.000 lebih perusahaan besar dan sedang," jelasnya.

Karena tidak terpenuhinya pasokan bahan utama produksi tekstil seperti POY dan DTY tentu akan menghambat produksi yang mengakibatkan berhentinya operasional pabrik. Perusahaan yang tidak beroperasi tentu akan merumahkan para karyawan dalam waktu tertentu atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Selain itu hal tersebut juga akan mengakibatkan hasil produksi industri dalam negeri tidak akan mampu bersaing dengan hasil produksi luar negeri akibat biaya produksi bertambah dikarenakan tidak terpenuhinya bahan baku utama. Sehingga akan memberikan dampak terhadap industri dalam negeri serta terhadap pendapatan negara.

"Saat ini ada sekitar 3 juta karyawan yang hidupnya bergantung pada perusahaan TPT sehingga apabila pemerintah memberlakukan BMAD akan berpotensi mengakibatkan terjadinya PHK besar-besaran akibat perusahaannya ditutup," katanya.

Baca juga: Pengusaha Mamin dan Tekstil Perlu Stimulus untuk Tingkatkan Gairah Pasar

Melihat data TPT secara nasional dari tahun 2022 sampai tahun 2024 lebih dari 50 perusahaan yang gulung tikar dan melakukan PHK terhadap para pekerjanya maka akan sangat mungkin terjadi apabila memaksakan memberlakukan BMAD.

Apabila terjadi banyak perusahaan yang tutup dan terjadinya PHK maka akan membuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Prabowo Subianto yang pernah berkomitmen mendukung dunia industri dan menjadikan Indonesia menjadi negara industri serta menciptakan 19 juta lapangan pekerjaan.

"Jangan-jangan ada agenda terselubung dari pihak atau perusahaan tertentu atas usulan mengenakan tarif BMAD untuk meraup keuntungan pribadi dan menjatuhkan pemerintahan Prabowo yang masih berjalan sekitar hampir 7 bulan," tegasnya.

Baca juga: Industri Minta Batalkan Wacana Bea Masuk Antidumping Atas Impor Bahan Baku TPT

Halaman
12
Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved