Rabu, 1 Oktober 2025

Pembangunan Hunian Berbasis TOD Hadapi Tantangan, Pemerintah Diminta Turun Tangan

pengembangan kawasan TOD memungkinkan pemanfaatan ruang kota yang lebih efisien dan berdaya guna.

Editor: Sanusi
handout
HUNIAN BERBASIS TOD - Pengembangan kawasan Transit Oriented Development (TOD) memungkinkan pemanfaatan ruang kota yang lebih efisien dan berdaya guna. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konsep hunian berbasis Transit Oriented Development (TOD) menjadi salah satu strategi menjawab tantangan urbanisasi dan backlog perumahan di Indonesia. 

TOD yang mengintegrasikan antara hunian dan moda transportasi publik, dinilai oleh para pakar sebagai solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Pengamat Tata Kota, Sibarani, menyatakan konsep ini semakin relevan dengan perkembangan sistem transportasi massal di Indonesia, seperti MRT dan jaringan kereta api komuter.

Baca juga: Kejar Target 3 Juta Rumah, Perumnas Kembangkan Hunian Tapak Berkonsep TOD di Parung Panjang Bogor

“TOD dapat menjadi salah satu penggerak utama pembangunan kota. Karena kita sudah mulai berbasis kepada transportasi massal, terutama dengan adanya MRT dan juga stasiun kereta api,” ujar Sibarani dikutip Senin (19/5/2025).

Menurutnya, pengembangan kawasan TOD memungkinkan pemanfaatan ruang kota yang lebih efisien dan berdaya guna. TOD juga mendukung pola hidup yang lebih berkelanjutan dengan mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan pribadi.

“Jadi, TOD itu bisa memberikan dampak pemanfaatan ruang yang jauh lebih efisien. Orang bisa tinggal dekat dengan moda transportasi, bekerja tidak jauh dari rumah, dan ini secara langsung mengurangi waktu tempuh, biaya, dan polusi,” ucap dia.

Baca juga: Kawasan Pulo Mas Jakarta Timur Didorong Jadi TOD, Terintegrasi dengan Transportasi Umum

Sibarani menggarisbawahi penerapan konsep TOD di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan mendasar. Salah satunya adalah kesiapan infrastruktur pendukung yang masih minim serta pola perencanaan kota yang belum berpijak pada prinsip TOD sejak awal.

“Tantangannya cukup kompleks. Kota-kota kita sejak dulu tidak punya pemikiran atau perencanaan dengan konsep TOD. Ditambah lagi, rendahnya kesadaran masyarakat menggunakan transportasi umum karena akses dari rumah ke stasiun masih jauh, dan di sisi lain, sangat mudah untuk mendapatkan kendaraan bermotor roda dua,” sambung Sibarani.

Selain dari sisi masyarakat, tantangan juga datang dari dunia usaha. 

Sibarani menilai, masih banyak investor yang belum melihat potensi ekonomi dari kawasan TOD. Padahal, dengan dukungan yang tepat dari pemerintah, kawasan ini bisa menjadi magnet baru untuk pertumbuhan ekonomi lokal.

“Investor belum banyak yang melihat prospek TOD. Pemerintah harus mendorong, salah satunya dengan memberikan insentif, entah itu dalam bentuk pajak, subsidi, atau penyediaan lahan," katanya.

Lebih jauh, ia menyoroti TOD bukan hanya soal pembangunan fisik hunian dan transportasi, tetapi mencakup pula pengembangan kawasan sekitarnya. Hal ini mencakup aksesibilitas, fasilitas umum, ruang terbuka hijau, serta pengelolaan kawasan secara menyeluruh.

“Pemerintah daerah perlu menata fasilitas pendukung seperti akses jalan, jembatan, dan memastikan kebersihan kawasan. Mereka juga harus menyiapkan estate management team yang akan mengelola kawasan TOD secara profesional dan berkelanjutan,” ucap Sibarani.

“Kalau di luar negeri, banyak kawasan TOD yang sukses. Itu karena peran pemerintahnya besar. Mereka punya kawasan yang sangat tertata, ada pengelolanya, aturan hukumnya jelas, dan semua benar-benar dilaksanakan. Di Indonesia, sayangnya, kita masih berhenti di level peraturan. Saat mau mengoordinasikan dan melaksanakannya, belum ada sistem yang solid,” sambungnya. 

Di sisi lain, Sibarani menilai TOD juga dapat menjadi solusi konkret dalam mendukung program tiga juta rumah yang dicanangkan pemerintah. 

Menurutnya, dengan peningkatan intensitas kawasan sekitar transportasi publik, pemerintah bisa mengarahkan pembangunan hunian terjangkau bagi masyarakat kelas menengah.

Ia menyampaikan apresiasi terhadap langkah Perumnas yang telah membangun kawasan TOD di atas lahan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). Namun, pendekatan pembangunan ini, kata dia, masih sangat terbatas secara geografis.

“Salah satu kesulitannya, Perumnas biasanya hanya membangun di atas lahan yang mereka atau mitranya kuasai, seperti milik KAI. Padahal, kawasan TOD itu seharusnya mencakup radius 400 hingga 500 meter dari stasiun. Artinya, harus ada koneksi dengan kawasan di luar lahan milik KAI,” paparnya.

Ia pun mendorong agar pemerintah daerah turut aktif berkolaborasi dengan pemilik-pemilik lahan di sekitar kawasan TOD untuk menciptakan integrasi yang menyeluruh.

“Pemerintah harus turun tangan. Mereka yang punya kewenangan dan kapasitas untuk menghubungkan kawasan TOD dengan lingkungan sekitarnya. Kalau ini bisa dilakukan, maka TOD bisa menjadi pengungkit pembangunan kota yang manusiawi, terjangkau, dan berkelanjutan,” kata Sibarani.

Wakil Direktur Utama Perum Perumnas, Tambok Setyawati menjelaskan, pengembangan TOD di perkotaan memerlukan penanganan yang terintegrasi serta kolaborasi erat antar stakeholder, mengingat implementasinya berkaitan dengan pembangunan di lahan strategis dan infrastruktur yang terintegrasi. 

Oleh karena itu, dukungan dari pemerintah untuk mendorong proyek-proyek TOD seperti ini sangat dibutuhkan guna keberkelanjutan ke depannya.

Tambok menekankan, Perumnas terus mendorong model kemitraan yang adaptif, agar TOD tidak hanya menjadi proyek hunian, tetapi juga menjadi pusat aktivitas masyarakat yang berdaya saing dan inklusif.

 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved