Industri Penerbangan Indonesia Hadapi Mahalnya Biaya Perawatan dan Suku Cadang
Industri penerbangan Indonesia kini menghadapi mahalnya biaya perawatan mesin dan suku cadang pesawat.
Penulis:
Nitis Hawaroh
Editor:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri penerbangan Indonesia kini menghadapi mahalnya biaya perawatan mesin dan suku cadang pesawat. Biaya tersebut harus dibayar menggunakan mata uang dolar AS di tengah tren pelemahan rupiah.
Seperti terjadi pada maskapai penerbanganGaruda Indonesia Group. Mereka menghentikan operasional 15 pesawatnya karena kendala biaya perawatan mesin.
Kondisi keterbatasan suku cadang pesawat juga dihadapi hampir seluruh pelaku industri penerbangan. Ini menyebabkan pemeliharaan mesin pesawat membutuhkan waktu lebih panjang.
Pengamat penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan, pasokan suku cadang di pasar global sedang langka dan menjadi rebutan maskapai penerbangan.
Dia bilang, perusahaan jasa perawatan mesin pesawat di luar negeri menerapkan kebijakan uang muka kepada maskapai yang akan menggunakan jasa mereka.
"Sekitar 30 persen perawatan mesin dan komponen pesawat itu dilakukan di MRO luar negeri yang bayarnya pakai dolar AS," kata Gatot saat dihubungi Tribunnews, Selasa (6/5/2025).
"Ya memang kondisinya tidak baik-baik saja, bahkan mungkin bisa dibilang memprihatinkan," imbuh Gatot.
Gatot mengatakan, tantangan lain adalah semakin mahalnya harga suku cadang pesawat karena kurs dollar AS yang makin menguat dan tarif bea masuk sebagian besar suku cadang pesawat sebesaar 5 sampai 25 persen dari harga suku cadang.
Di sisi lain, pemasukan maskapai nasional dari rupiah dan harga tiket dibatasi oleh aturan pemerintah melalui Tarif Batas Atas (TBA). TBA adalah harga maksimum tiket pesawat untuk rute domestik. Aturan ini sudah ada sejak 2019 lalu.
"Jadi memang tidak imbang antara pendapatan dan biaya maskapai, sehingga kondisi keuangannya juga turun dan ini berpengaruh pada perawatan pesawat," ungkap Gatot.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menetapkan penyesuaian TBA untuk penerbangan domestik kelas ekonomi pada 2019 lalu.
Komponen penentu aturan TBA mempertimbangkan biaya operasional penerbangan, jasa kebandarudaraan, jasa pelayanan navigasi penerbangan, pajak dan asuransi serta kurs mata uang asing terhadap rupiah.
Evaluasi menyoal TBA ini dilakukan minimal 6 bulan sekali atau minimal 1 tahun sekali. Hal ini menyesuaikan kondisi ekonomi dan industri penerbangan. Namun sayangnya, hingga kini penerapan TBA belum kunjung dilakukan evaluasi.
Baca juga: Garuda Indonesia Hentikan 15 Pesawat Imbas Kondisi Keuangan
Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau Indonesia National Air Carriers Association (INACA) menyayangkan hal tersebut. Sebab INACA menyoroti potensi pendapatan maskapai yang diatur melalui TBA itu tidak cukup untuk membiayai operasional penerbangan.
Bahkan menurutnya, hal itu menjadi alasan sulitnya maskapai dalam negeri mendapatkan investor di industri penerbangan lantaran tingkat pengembalian investasinya minim atau minus.
Komitmen dan Pencapaian Positif Pelita Air di 2024, Sukses Angkut 2,7 Juta Penumpang |
![]() |
---|
Presiden Prabowo Harap Turunnya Harga Tiket Pesawat saat Nataru Tak Rugikan Industri Penerbangan |
![]() |
---|
Soal Pembebasan Pajak Impor Suku Cadang Pesawat. Begini Sikap INACA |
![]() |
---|
Imbas Sanksi UE, Iran Umumkan Pembatalan Semua Penerbangan Maskapai Mereka ke Eropa |
![]() |
---|
Penerapan Kurikulum Merdeka Diharapkan Dorong Siswa Pelajari Industri Penerbangan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.