Jumat, 3 Oktober 2025

Transformasi Digital Sebagai Pilar Ketahanan Ekonomi Nasional di Era Perang Dagang Global

di tengah tekanan inflasi, krisis energi, dan ketegangan antara negara-negara besar, kebijakan proteksionisme kembali muncul

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Sanusi
dok.
TRANFORMASI DIGITAL - transformasi digital harus menjadi pilar utama dalam strategi ketahanan dan kedaulatan ekonomi nasional, bukan sekadar pelengkap modernisasi 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dunia sedang mengalami pergeseran geopolitik dan ekonomi yang luar biasa.

Direktur Indonesia Digital & Cyber Institute (IDCI) Yayang Ruzaldy mengatakan di tengah tekanan inflasi, krisis energi, dan ketegangan antara negara-negara besar, kebijakan proteksionisme kembali muncul dalam bentuk perang dagang modern. 

Amerika Serikat baru-baru ini memberlakukan tarif resiprokal terhadap semua mitra dagangnya, termasuk Indonesia dengan tarif sebesar 32 persen. 

Baca juga: Dampak Kebijakan Tarif Baru AS, 50 Ribu Buruh Indonesia Terancam PHK Gelombang Kedua

"Hal ini tidak hanya menjadi pukulan bagi neraca perdagangan, tetapi juga menjadi sinyal yang jelas bahwa kekuatan ekonomi di masa depan tidak lagi bergantung pada ekspor fisik saja, tetapi juga pada nilai tambah dari inovasi dan digitalisasi," ujar Yayang Ruzaldy di Jakarta, Sabtu (5/4/2025).

Alih-alih melihat kebijakan tarif sebagai batu sandungan, Indonesia harus menggunakannya sebagai momentum untuk bertransformasi.

 Menurut dia ketika biaya logistik meningkat dan akses pasar menjadi lebih terbatas, saluran digital tetap terbuka lebar. 

"Oleh karena itu, transformasi digital harus menjadi pilar utama dalam strategi ketahanan dan kedaulatan ekonomi nasional, bukan sekadar pelengkap modernisasi," ujarnya.

Berikut penjelasan selengkapnya Yayang Ruzaldy soal dampak tarif global terhadap struktur ekonomi Indonesia :

Baca juga: China Kenakan Tarif 34 Persen ke AS, Perang Dagang Memanas

Tarif 32% yang dikenakan pada sejumlah komoditas unggulan Indonesia berdampak langsung pada sektor manufaktur, pertanian, dan logistik. 

UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional juga tertekan oleh lonjakan biaya produksi dan kesulitan mengakses pasar luar negeri.

 Data statistik dari World Integrated Trade Solution (WITS) memperkirakan bahwa setiap kenaikan tarif sebesar 10?pat mengurangi volume ekspor sebesar 7%.

Dalam konteks Indonesia, dia mengatakan tarif sebesar 32?rarti potensi kerugian ekspor yang signifikan dan efek domino terhadap pendapatan negara, lapangan kerja, dan stabilitas makroekonomi.

"Namun, justru di tengah tekanan inilah peluang muncul. 

Dunia sedang memasuki fase penyeimbangan kembali di mana kekuatan ekonomi global tidak lagi semata-mata ditentukan oleh produksi fisik, tetapi oleh efisiensi, kreativitas, dan kecepatan inovasi melalui teknologi digital," ujar Ruzaldy.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved