Kasus Korupsi Minyak Mentah
Bos Pertamina Jawab Kekhawatiran Masyarakat Soal Pertamax Dioplos Pertalite: Kami Jaga Kualitas BBM
Simon memastikan bahwa Pertamax, produk BBM dengan Research Octane Number (RON) 92, dan produk-produk Pertamina lainnya, memiliki kualitas yang baik.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri buka suara mengenai bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Pertamax yang tengah diperbincangkan masyarakat
Belakangan ini, isu BBM oplosan jenis Pertalite menjadi Pertamax mencuat.
Isu tersebut muncul seiring adanya kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Persero, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) pada periode 2018-2023 yang diungkap Kejaksaan Agung (Kejagung).
Masyarakat pun menjadi khawatir BBM yang mereka isi merupakan hasil oplosan.
Baca juga: Kualitas Pertamax RON 92 Terjamin, Pertamina Pastikan Sesuai Standar Ditjen Migas
Simon memastikan bahwa Pertamax, produk BBM dengan Research Octane Number (RON) 92, dan produk-produk Pertamina lainnya, memiliki kualitas yang baik dan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Produk Pertamina disebut secara berkala dilakukan pengujian dan diawasi secara ketat oleh Kementerian ESDM melalui Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS).
Simon mengatakan, Pertamina menghormati proses penyidikan yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
Ia memastikan selama proses penyidikan tersebut, operasional Pertamina dalam melayani kebutuhan BBM kepada masyarakat tetap berjalan dengan lancar.
"Kami pastikan bahwa operasional Pertamina saat ini berjalan lancar, dan terus mengoptimalkan layanan serta menjaga kualitas produk BBM kepada masyarakat,” kata Simon dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (27/2/2025).
Ia mengatakan, Pertamina sebagai induk perusahaan dari berbagai lini bisnis energi terus berupaya untuk meningkatkan kinerja tata kelola yang baik (Good Corporate Governance) di dalam Pertamina Group, antara lain melalui sinergi yang lebih kuat dengan Kejaksaan Agung.
Simon mengapresiasi kepercayaan dan dukungan semua pihak terhadap kualitas produk-produk Pertamina selama ini.
Ia pun meminta agar masyarakat tenang dan tidak terprovokasi dengan berbagai isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar telah meminta masyarakat tak khawatir.
Ia memastikan, produk Pertamina yang beredar di masyarakat bukanlah bahan bakar minyak (BBM) oplosan.
Harli memastikan, BBM yang kini beredar di masyarakat bukan hasil oplosan dan tidak berkaitan kasus yang tengah diusut Kejagung.
“Jadi, jangan ada pemikiran di masyarakat bahwa seolah-olah minyak yang digunakan sekarang itu adalah minyak oplosan. Nah, itu nggak tepat,” kata Harli.
Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga membantah adanya pengoplosan BBM jenis Pertalite menjadi Pertamax.
Menurut dia, BBM yang beredar di masyarakat sudah memenuhi standar yang ditetapkan, di mana masing-masing jenis bahan bakar sudah sesuai dengan spesifikasinya.
"Kualitas kita kan sudah sesuai standar. (ada RON 90, RON 92). Kan sudah ada semuanya. Jadi kalau membeli harga yang bagus, minyak bagus, harganya juga bagus. Mau setengah-setengah, ada juga setengah-setengah. Semua sudah ada speknya itu semua," ujar Bahlil di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (26/2/2025), dikutip dari Kompas.com.
Ia juga menyebutkan bahwa skema blending atau proses pencampuran bahan bakar minyak (BBM) tak menyalahi aturan.
Hal itu selama spesifikasi atau kualitas bahan bakar diproduksi sesuai standar.
Kegiatan blending biasa terjadi di refinery atau kilang minyak untuk mengubah spek bahan bakar minyak (BBM) agar sesuai dengan standar.
Perbuatan keliru oleh Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga adalah melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92, padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 atau lebih rendah.
Terkait dengan pembelian RON 90 dan RON 92, Bahlil menyampaikan pentingnya perbaikan penataan terhadap izin-izin impor BBM.
Kementerian ESDM kini telah membenahinya dengan memberi izin untuk enam bulan, bukan satu tahun sekaligus.
“Makanya sekarang, izin-izin impor kami terhadap BBM tidak satu tahun sekaligus. Kami buat per enam bulan, supaya ada evaluasi,” ucap dia.
Selain itu, kata Bahlil produksi minyak yang tadinya diekspor tidak akan lagi diizinkan untuk mengekspor agar diolah di dalam negeri.
“Nanti yang bagus, kami suruh blending. Nanti yang tadinya itu enggak bisa diolah di dalam negeri, sekarang kami minta harus diolah di dalam negeri,” ucap Bahlil.
Adapun ketujuh tersangka yang ditetapkan adalah Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, serta Vice President (VP) Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono.
Lalu, tersangka lainnya ada Dirut PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, beneficiary owner atau penerima manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Keery Andrianto Riza, dan Komisaris PT Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati.
Terakhir, Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menuturkan perbuatan para tersangka itu mengakibatkan negara rugi sebesar Rp 193,7 triliun.
"Adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun yang bersumber dari berbagai komponen," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Senin (24/2/2025).
Adapun kasus ini bermula pada tahun 2018 saat pemerintah tengah mencanangkan pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari produksi dalam negeri.
Lalu, perusahaan pelat merah PT Pertamina mencari pasokan minyak bumi dalam negeri sebelum melakukan perencanaan impor yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018.
Namun, bukannya memaksimalkan produksi minyak mentah dalam negeri, tiga tersangka yaitu Riva, Sani, dan Agus justru diduga melakukan pengkondisian saat rapat organisasi hilir (ROH).
Mereka pun memutuskan agar produksi kilang diturunkan yang membuat hasil produksi minyak bumi tidak sepenuhnya terserap.
Qohar mengatakan hal ini dilakukan ketiga tersangka semata-mata demi melakukan impor minyak mentah.
"Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," ujar Qohar.
Selain itu, mereka juga menolak produksi minyak mentah dalam negeri dari KKKS dengan dalih tidak memenuhi nilai ekonomis serta tidak sesuai spesifikasi.
Padahal, kenyataannya berbanding terbalik dengan klaim dari ketiga tersangka tersebut.
"Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," jelas Qohar.
Lantas PT Kilang Pertamina Internasional pun melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang yang mana perbedaan harga sangat signifikan dibanding produksi minyak bumi dalam negeri.
Sementara, terkait kegiatan ekspor minyak diduga terjadi kongkalikong di mana Riva, Sani, Agus, dan Yoki selaku perwakilan negara mengatur kesepakatan harga dengan Riza, Dimas, dan Gading selaku broker.
Kongkalikong itu berupa pengaturan harga yang diputuskan dengan melanggar peraturan demi kepentingan pribadi masing-masing.
"Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan," jelasnya.
Lalu, deretan pelanggaran hukum kembali dilakukan ketika Riva, Sani, dan Agus memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang.
Selanjutnya, adapula Dimas dan Gading yang melakukan komunikasi ke Agus untuk memperoleh harga tinggi meski secara syarat belum terpenuhi.
Riva juga melakukan pelanggaran dimana justru membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 meski yang dibutuhkan adalah RON 92.
Tak cuma itu, Yoki juga diduga melakukan mark up kontrak dalam pengiriman minyak impor.
Apa yang dilakukan Yoki ini membuat negara harus menanggung biaya fee mencapai 13-15 persen. Namun, Riza justru memperoleh keuntungan.
"Sehingga tersangka MKAR (Riza) mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut," ungkap Qohar.
Qohar mengatakan rangkaian perbuatan tersangka ini membuat adanya gejolak harga BBM di masyarakat lantaran terjadi kenaikan.
Hal ini membuat pemerintah semakin tinggi dalam memberikan kompensasi subsidi.
Akibat perbuatannya, mereka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Kasus Korupsi Minyak Mentah
Mohammad Riza Chalid DPO Kasus Korupsi Minyak Mentah, Kejagung Siapkan Red Notice |
---|
Kejagung Tetapkan 'Raja Minyak' Riza Chalid Jadi Tersangka Pencucian Uang di Perkara Minyak Mentah |
---|
Kejagung Periksa 6 Saksi Dari Pertamina dan Anak Usaha Terkait Dugaan Korupsi Minyak Mentah |
---|
Utamakan Pengembalian Kerugian Negara, Kejagung Didesak Segera Sita Aset Riza Chalid |
---|
Mobil-mobil Mewah Terafiliasi Riza Chalid Kembali Disita, TPPU Mengintai Raja Minyak Buron |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.