Minggu, 5 Oktober 2025

Pertalite Dihapus

Pengamat Energi hingga Anggota DPR Tolak Penghapusan Pertalite Jadi Pertamax Green 92: Bebani Rakyat

Pertamax Green 92 sendiri merupakan campuran Pertalite dengan bahan bakar nabati, yakni Ethanol.

SURYA/PURWANTO
Pengamat Ekonomi Energi hingga Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) menolak rencana penghapusan bahan bakar minyak yang dijual Pertamina yakni Pertalite. Petugas mengisikan BBM jenis Pertalite di SPBU Jalan Bandung, Kota Malang, Jawa Timur. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Energi hingga Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) menolak rencana penghapusan bahan bakar minyak yang dijual Pertamina yakni Pertalite.

Sebagai gantinya, konsumen yang biasa membeli BBM dengan kadar oktan 90 tersebut akan dialihkan menggunakan Pertamax Green 92.

Pertamax Green 92 sendiri merupakan campuran Pertalite dengan bahan bakar nabati, yakni Ethanol.

Baca juga: DPR Minta Pemerintah Tak Buru-buru Hapus Pertalite, Ini Sederet Alasannya

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai hal tersebut tidak tepat. Setidaknya terdapat 2 alasan kuat.

"Yang disampaikan Dirut Pertamina itu di DPR ia menyebut wacana, dan akan diterapkan pada akhir tahun atau awal tahun depan. Kalau itu diterapkan sebagai kebijakan, menurut saya itu sangat tidak tepat," ucap Fahmy kepada Tribunnews, Minggu (10/9/2023).

Alasan pertama, Pertamax Green 92 dinilai masih kurang ramah terhadap lingkungan.

Bahkan, apabila aturan penggunaan BBM tersebut diimplementasikan, kontribusinya dinilai masih kurang dalam menekan kadar polusi di Ibu Kota.

"Pertama, dengan mengalihkan Pertalite ke Pertamax Green 92 itu menurut standard euro 4 masih sebagai energi bersih yang (dinilai) kotor," papar Fahmy.

"Sehingga itu tak berkontribusi signifikan terhadap polusi udara di Jakarta. Jadi tidak efektif kalau itu dipaksakan," sambungnya.

Alasan kedua, kalau Pertalite dihapus maka konsumennya dipaksa untuk pindah ke Pertamax Green.

Sehingga, Pemerintah secara langsung wajib memberikan jumlah subsidi yang besar. Mengingat, biaya produksi Pertamax Green 92 lebih besar jika dibandingkan BBM subsidi seperti Pertalite.

"Kalau itu diterapkan maka itu tidak akan membebani bagi rakyat, tetapi di sisi yang lain akan memberikan subsidi dengan jumlah yang besar, karena cost of production nya jauh lebih mahal," beber Fahmi.

"Mungkin kalau dibandingkan Pertalite sekarang maka angka subsidinya akan sangat besar. Padahal subsidi energi tahun lalu sudah lebih Rp502 triliun, kalau ditambah kebijakan itu akan lebih besar lagi (memberatkan)," pungkasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR-RI, Amin Ak meminta Pertamina untuk tidak terburu-buru menghapus BBM jenis Pertalite.

Alasan pertama, menghapus BBM Pertalite dalam waktu dekat akan menghasilkan multiplier effect atau efek domino. Karena BBM tersebut jika sudah dijual harganya bakal diatas Pertalite.

Menghapus Pertalite akan menaikan harga BBM, yang kemudian berdampak pada kenaikan harga, baik biaya transportasi, harga barang kebutuhan, dan biaya hidup secara keseluruhan sebagai dampak kenaikan harga BBM.

"Pertamax Green 92 bahkan diprediksi akan lebih mahal dibandingkan Pertamax karena ethanol yang digunakan sebagian masih impor, sehingga harga jual Pertamax Green 92 menjadi lebih mahal," ungkap Amin kepada Tribunnews, Minggu (10/9/2023).

"Dengan demikian, Pertamax Green 92, baru mungkin dijadikan sebagai alternatif BBM yang lebih ramah lingkungan, tapi bukan menggantikan Pertalite," sambungnya.

Kedua, menjadikan Pertamax Green 92 sebagai pengganti Pertalite diperbolehkan, jika Pertamina sudah sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan bio ethanol dari dalam negeri.

Sehingga dari sisi ekonomi energi, khususnya dalam memenuhi kebutuhan rakyat menengah ke bawah, masih membutuhkan waktu sampai kemudian Pertamina mampu memproduksi Pertamax Green dengan harga semurah mungkin, sehingga tepat secara ekonomi menggantikan Pertalite.

Baca juga: Pertalite Dikembangkan Jadi Pertamax Green 92, Pengamat: Belum Saatnya, Bahan Baku Etanol Tak Cukup

Ketiga, lanjut Amin, pihaknya mendorong Pertamina untuk mengembangkan bio ethanol sebagai bagian dari strategi ketahanan energi.

Pertamina harus bisa bekerja sama dengan BUMN yang bergerak di sektor perkebunan yakni PTPN atau perkebunan rakyat, untuk memproduksi bio ethanol.

Baik berbasis tebu, singkong, sorgum, ataupun bahan lainnya yang bersifat sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable resources) sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan.

"Pertamina bisa menjadi off taker bagi bio ethanol atau bahan baku bio ethanol yang diproduksi baik oleh BUMN terkait maupun perkebunan rakyat, sehingga ini akan menjadi penggerak ekonomi (prime mover) ekonomi nasional berbasis kerakyatan," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved