Jumat, 3 Oktober 2025

Menkeu Sri Mulyani Beberkan soal Pensiun Dini PLTU, Bakal Berimbas ke Keuangan PLN?

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap sulitnya soal rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara milik PT PLN

Istimewa
Dok. PLN 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap sulitnya soal rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara milik PT PLN (Persero).

Ia mengatakan, pemerintah kini tengah mengidentifikasi PLTU mana saja yang akan dipensiunkan.

Dalam diskusi di lingkup pemerintah, ia membeberkan sedang dibahas mengenai besaran biaya pensiun dini PLTU tersebut, yang nantinya akan berimbas pada neraca keuangan PLN.

"Jika batu bara ini dipensiunkan, maka menjadi aset terdampar (stranded asset) yang akan mempengaruhi ekuitas," kata Ani, sapaan akrabnya, dalam acara Indonesia Sustainability Forum 2023 Gala Dinner, Kamis (7/9/2023) malam.

Baca juga: Bidik 1.715 Unit SPKLU, PLN Ajak Negara ASEAN Kolaborasi Bangun Bisnis Charging Station

Di sisi lain, PLN perlu untuk bertransisi dari PLTU ke pembangkit energi baru dan terbarukan. Sehingga PLN juga membutuhkan belanja modal dengan tingkat suku bunga yang tinggi atau mahal.

Ia kemudian mencontohkan rencana mempensiunkan PLTU Cirebon-1 yang memiliki daya sebesar 660 Megawatt.

Dalam tujuh tahun, pembangkit tersebut ditaksir bisa mengurangi 4,4 juta Gigawatt ton Co2. Dana yang dibutuhkan sebesar 330 juta dolar AS.

"Contohnya mempensiunkan PLTU Cirebon-1. Kita harus memadukan antara ekuitas dan juga pinjaman. Ketika tingkat suku bunga meningkat, siapa yang akan membayarnya?" ujar Ani.

Menkeu menyebut, kini banyak pembiayaan hingga triliunan dolar AS yang ditangguhkan untuk pembiayaan program pensiun PLTU dengan alasan environmental, social, and corporate governance (ESG).

Di Indonesia sendiri untuk mengurangi emisi CO2 42 persen setidaknya membutuhkan dana hingga 200 miliar dolar AS.

Baca juga: Meski PLTU Dekat Jakarta Dipadamkan, Polusi Udara Ibu Kota Masih Berstatus Buruk

“Sementara APBN hanya bisa berkontribusi tidak kurang dari 30 persennya, untuk itu pemerintah membuat alternatif pembiayaan lain seperti green sukuk, green bond, dan juga menciptakan blended finance,” tukas dia.

Meski dilanda kesulitan, ia mengatakan pemerintah RI sekarang sedang mendorong adanya kemajuan baru dalam melakukan dekarbonisasi.

"Setidaknya kemajuan di mana setiap orang dapat melihat lebih detail," pungkas Ani.

Kurangi Polusi

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah berencana akan memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai upaya mengurangi polusi udara serta peralihan transisi energi.

Baca juga: Hadir di Indonesia Sustainabilty Forum, Arsjad Rasjid Singgung soal Polusi di Jakarta

Namun, untuk melakukan hal tersebut tentunya tidak mudah karena membutuhkan biaya cukup besar mencapai 100 miliar dollar AS atau Rp 1.529 triliun.

"Sekarang sedang dikaji dengan baik. Seperti saya katakan tadi, early retirement (pensiun lebih awal) akan kita lakukan. Tapi siapa yang bayar?" katanya ditemui dalam CEO Forum of ASEAN Bloomberg, Jakarta, Rabu (6/9/2023).

"Jika Anda melihat kembali hasil G20, dana (transisi energi dari JETP ke RI) 20 miliar dollar AS. Tapi kenyataannya, menurut saya bisa mencapai 100 miliar dollar AS. Lalu bagaimana kita menghadapi yang satu ini, bahkan yang 20 miliar dollar AS hingga saat ini kami belum melihat banyak kemajuannya," sambung Luhut.

Luhut menambahkan, China membutuhkan waktu 20 tahun untuk proses transisi energi dan Indonesia akan mencontohnya.

"Lihat China itu, 20 tahun baru bisa selesaikan. Terakhir itu 2013 sampai 2017, 4 tahun itu mereka intensif sekali, kita juga akan nanti begitu," ucapnya.

Indonesia, bersama negara G20 telah menyepakati skema pendanaan transisi energi yang disebut sebagai Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP) dengan target nilai investasi 20 miliar dollar AS yang setara dengan Rp 300 triliun.

Rencana investasi dan detil PLTU mana yang akan dipensiunkan dini melalui skema JETP masih akan dirampungkan dalam 6 bulan.

Untuk itu, sangatlah penting memastikan proses ini akan berjalan secara transparan dan partisipatif agar tidak mencederai prinsip utama kerja samanya yaitu, berkeadilan.

Skema pendanaan JETP terdiri atas 10 miliar dollar AS yang berasal dari pendanaan publik berupa pinjaman lunak dan hibah dan 10 miliar dollar AS lainnya berasal dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, and Standard Chartered.

Baca juga: Satgas Penanggulangan Polusi Udara Polda Metro Sidak 2 Pabrik di Tangerang, Cek Standarisasi Asap

Perlu Libatkan Pemerintah Daerah

Salah satu program pendanaan transisi energi dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) adalah pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Pensiun dini PLTU batu bara perlu melibatkan berbagai unsur, salah satunya pemerintah daerah. Pasalnya, pensiun dini PLTU batu bara akan berdampak terhadap berbagai indikator ekonomi di daerah tempatnya beroperasi.

Hal tersebut berdasarkan temuan dari studi yang dilakukan oleh lembaga think tank Center of Economic and Law Studies (CELIOS) bekerja sama dengan Yayasan Indonesia CERAH dan diluncurkan pada Selasa (18/7/2023).

Ekonom dan Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan, belum siapnya pemerintah daerah dalam melaksanakan transisi energi akan menciptakan tekanan pada sektor tenaga kerja dan pendapatan masyarakat yang bergantung pada rantai pasok PLTU.

“Sebagai contoh, terdapat sekitar 4.666 pekerja langsung baik tetap dan tidak tetap yang akan terdampak penutupan PLTU batu bara di Langkat, Cilacap, dan Probolinggo,” kata Bima dalam siaran pers

“Ini pun belum termasuk pekerja tidak langsung yakni para pelaku UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) yang berada di sekitar lokasi PLTU, serta pekerja di lokasi sumber batu bara,” imbuhnya.

Bhima menambahkan, studi tersebut dilakukan di tiga provinsi yakni Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta di tiga kabupaten yaitu Langkat, Cilacap, dan Probolinggo.

Berdasarkan studi, disimpulkan bahwa pemerintah daerah belum aktif dilibatkan dalam agenda JETP, khususnya tahap transisi pekerja yang langsung terdampak dan pekerja sektor UMKM di sekitar lokasi PLTU.

Bahkan, dampak pensiun PLTU batu bara yang berpotensi menghilangkan pendapatan daerah dari pensiunnya PLTU belum disiapkan potensi penggantinya.

Hal tersebut akan mengganggu salah satu poin dalam JETP yaitu transisi berkeadilan.

Peneliti CELIOS Muhammad Saleh mengungkapkan, sebagian besar pemerintah yang menjadi objek penelitian belum tahu dan tidak dilibatkan dalam kebijakan transisi energi JETP.

“Secara spesifik, pemerintah daerah bahkan belum mengetahui keberadaan Perpres No 11/2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral pada sub-Bidang Energi Baru Terbarukan,” ujar Saleh.

Hingga kini, sejumlah pemerintah daerah belum memiliki kerangka regulasi pelaksana Perpres No 11/2023.

Selain itu, menurut pemerintah daerah, kerangka regulasi yang ada belum mampu menjawab kebutuhan transisi energi.

“Pemerintah daerah idealnya mulai mempersiapkan jaminan perlindungan materiel kepada masyarakat pascapenutupan PLTU. Artinya, ketika PLTU batu bara dipensiunkan, masyarakat yang kehilangan pendapatan tetap mendapat kompensasi berupa peralihan ke profesi lainnya,” ujar Saleh.

Ad Interim Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH Agung Budiono menuturkan, temuan dalam riset ini menunjukan adanya sejumlah celah yang harus segera dibenahi oleh pengambil kebijakan.

Celah tersebut mulai dari aspek perencanaan, penguatan regulasi, dan implementasi skema JETP yang berhubungan langsung dengan daerah.

“Dorongan untuk menyudahi penggunaan PLTU dan akselerasi pengembangan energi terbarukan, perlu dilihat sebagai peluang untuk beralih dari ketergantungan energi yang menghasilkan banyak emisi. Kebijakan ini berdampak positif dalam jangka panjang,” papar Agung.

“Namun di sisi lain, strategi perencanaan dan mitigasi atas dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang ada di daerah penting dilakukan agar proses transisi benar-benar dapat mengimplementasikan nilai yang berkeadilan,” sambungnya.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved