Selasa, 30 September 2025

Produsen Rokok Makin Terjepit, Dibutuhkan Uangnya Tapi?

BPJS Kesehatan harus menanggung porsi biaya kesehatan Rp 15,5 triliun. penerimaan cukai rokok untuk JKN hanya mencapai Rp 7,4 triliun

Editor: Hendra Gunawan
SURYA/PURWANTO
Ilustrasi: Buruh mengerjakan pelintingan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di pabrik rokok Gajah Baru, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu. 

TRIBUNNEWS.COM -- Para produsen rokok di Indonesia semakin terjepit.

Selain jadi sapi perahan pemerintah untuk menghasilkan dana untuk APBN, pada sisi lain rokok dianggap membahayakan kesehatan sehingga ruang geraknya terus dibatasi.

Industri ini mesti hati-hati melanjutkan geraknya, jangan sampai salah langkah dan jadi terpuruk.

Baca juga: ICMI Tegas Tolak Tembakau Sejajar Narkotika dalam RUU Kesehatan

Dikutip dari Kontan.co.id, rokok memang bisa berdampak negatif dan mematikan bagi manusia, apalagi ongkos pengobatannya cukup mahal.

Merujuk riset Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), beban biaya kesehatan untuk penyakit terkait rokok pada 2019 silam diperkirakan mencapai Rp 27,6 triliun.

Dari jumlah itu, BPJS Kesehatan harus menanggung porsi biaya kesehatan Rp 15,5 triliun. Sayangnya, jumlah alokasi maksimum penerimaan cukai rokok untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hanya mencapai Rp 7,4 triliun.

Tingginya biaya kesehatan untuk penyakit terkait rokok tidak bisa dianggap remeh. Lewat PP No. 109 Tahun 2012, pemerintah berusaha menekan konsumsi rokok di dalam negeri. Mulai dari upaya penambahan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pembatasan iklan rokok, hingga memperbanyak simbol bahaya merokok bagi kesehatan.

Hal ini tentu mempersulit para produsen rokok untuk mengembangkan bisnisnya. Padahal, produsen rokok sudah dihadapkan dengan tingginya cukai hasil tembakau.

Contoh saja, awal pandemi tahun 2020 lalu rata-rata tarif cukai rokok naik 23 persen. Untuk 2023, tarif cukai rokok naik 10%. Kenaikan tarif cukai rokok sudah jauh melampaui pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.

"Kenaikan cukai yang tajam di tengah penurunan daya beli akibat pandemi membuat penjualan rokok turun drastis," imbuh Benny Wachjudi, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Selasa (5/7).

Baca juga: Tembakau Disetarakan dengan Narkotika di RUU Kesehatan, Wakil Ketua MPR: Bisa Berdampak ke Petani

Gaprindo pun mencatat, produksi industri hasil tembakau (IHT) menyusut dari 355,8 miliar batang pada 2019 menjadi 330,7 miliar batang pada 2022. Khusus untuk sigaret putih mesin (SPM), produksinya menciut dari 15,2 miliar batang pada 2019 menjadi 10,5 miliar batang pada 2022.

Guna mempertahankan bisnis, produsen rokok sebisa mungkin menekan biaya produksinya, berinovasi melalui diversifikasi produk, sampai mendorong ekspor. Namun, harus diakui bahwa upaya-upaya tersebut sulit direalisasikan secara optimal mengingat banyaknya tantangan yang menghantam industri rokok.

Di sisi lain, Gaprindo tidak ingin industri rokok terus-menerus disudutkan akibat isu kesehatan. Tanpa mengecilkan nominal biaya kesehatan untuk penyakit terkait rokok, Benny berpendapat, pada dasarnya penyakit yang diderita manusia bisa timbul oleh berbagai faktor.

Misalnya, pola hidup yang kurang sehat, kondisi udara dan air di lingkungan hunian atau tempat kerja, hingga faktor bawaan atau genetika.

"Menimpakan salah satu penyakit hanya akibat rokok saja rasanya tidak adil," imbuh dia.

Baca juga: Tembakau Disetarakan dengan Narkotika di RUU Kesehatan, Wakil Ketua MPR: Bisa Berdampak ke Petani

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menilai, apapun kondisi ekonominya, industri rokok tidak akan mati karena konsumennya selalu ada. Hanya saja, jika kebijakan tarif cukai tinggi terus berlangsung, kemungkinan para konsumen akan lebih selektif membeli rokok yang diinginkannya.

Kontribusi 13 Persen dari APBN

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto mengatakan pengaturan produk hasil tembakau selama ini dioptimalkan dengan mengembalikan fungsi cukai yaitu pengendalian lewat mekanisme fiskal.

“Penerimaan negara cukup besar berasal dari kontribusi CHT (Cukai Hasil Tembakau). Sekitar 10 sampai 13 persen dari porsi APBN selama lima tahun terakhir dari satu industri,” kata Nirwala di Jakarta, Kamis (22/6/2022).

Nirwala menegaskan, yang perlu dilakukan adalah evaluasi implementasi jika memang dibutuhkan. “Bukan mengubah atau membuat regulasi baru,” tegasnya.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Edy Sutopo menegaskan hal serupa.

”Menjadi sebuah urgensi untuk menjaga eksistensi ekosistem pertembakauan. Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah motor penggerak ekonomi nasional mengingat size of business IHT ini dari hulu ke hilir (single commodity) yang luar biasa,” dia mengingatkan.

Terlebih, IHT juga dinilai mempunyai peran besar untuk menggerakkan perekonomian lainnya.

Edy memaparkan, industri ini memiliki efek sampai pada akar rumput (grassroot) seperti pertanian.

“Dalam dinamika perekonomian nasional, Industri Hasil Tembakau menjadi penopang atau bantalan ekonomi. Kita harus menyikapi dengan bijaksana regulasi-regulasi yang ada,” sarannya.

Hal tersebut berkaitan dengan polemik atas pasal tembakau dalam RUU Kesehatan, yakni mulai dari Pasal 154 sampai 158 termasuk di dalamnya terdapat rencana penyetaraan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika.

Selain itu juga potensi tumpang tindih kewenangan kementerian berkaitan dengan standarisasi kemasan produk.

Padahal, dalam naskah akademik RUU Kesehatan dimaksud, tidak ada kajian dan analisis yang bisa memperkuat argumen pasal tersebut.

Serta tanpa mengkaji berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pertembakauan. Selama ini, MK telah mengeluarkan 11 putusan terkait ekosistem pertembakauan baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung.

Enam putusan di antaranya adalah putusan langsung yang menyebutkan bahwa ekosistem pertembakauan adalah entitas yang legal atau konstitusional.

Downtrading

Peneliti Center Of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Roosita Meilani mengatakan turunnya penerimaan negara dari CHT hingga munculnya fenomena downtrading menunjukkan pemerintah tidak fokus akan tujuan implementasi cukai.

“Downtrading merupakan pemasalahan yang serius karena efeknya tidak hanya pada penerimaan negara, tetapi juga meningkatkan konsumsi rokok murah. Konsumsi masyarakat jadi tidak berkurang, sehingga indikator penurunan prevalensi perokok pun tidak akan tercapai,” ujarnya dalam keterangan, Rabu (21/6/2023).

Roosita mengatakan Pemerintah juga harus menimbang perilaku konsumen saat menentukan kebijakan cukai.

Saat ini struktur cukai rokok masih sangat rumit dengan banyak layer.

Kenaikan cukai tanpa disertai perbaikan struktur cukai tidak efektif dalam upaya pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara.

Konsumen berpindah ke produk yang lebih murah selama ada pilihan. Dalam RPJMN 2020 – 2024, Pemerintah ditarget untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen.

“Memang variabel kenaikan CHT tarifnya selalu naik rata-rata 10 persen ke atas gitu ya tapi layernya cukup banyak, ini juga akan memberikan peluang downtrading. Downtrading ini yang harus diantisipasi karena berakibat pada penurunan penerimaan negara yang cukup signifikan," katanya.

Kekhawatiran lainnya, rokok yang harganya lebih murah makin mudah dijangkau anak-anak.

Sementara itu, Project Lead Tobacco Control Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI) Iman Zein mengatakan peralihan konsumsi ke rokok murah terjadi sebagai upaya konsumen agar tetap bisa merokok di tengah tekanan ekonomi ataupun ketika harga rokok naik.

Variasi harga rokok terjadi akibat struktur tarif cukai yang memiliki banyak layer dengan selisih tarif yang lebar antar golongan sehingga menyebabkan opsi konsumen terhadap produk rokok dengan harga murah masih terbuka.

Konsumen punya banyak pilihan rokok yang lebih murah, termasuk memilih rokok yang dilinting sendiri (tingwe).

“Walaupun tarifnya naik, adanya perpindahan golongan menyebabkan konsumsi tidak terkendali dan potensi pengurangan penerimaan negara,” ujarnya. (Kontan.co.id/Tribunnews.com)

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan