Bergantung Nasib pada Pabrik Rokok
Sri Sunarti khawatir wacana menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) berimbas pada pekerjaannya
TRIBUNNEWS.COM - Wacana pemerintah untuk menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) membuat khawatir pekerja pabrik rokok.
Sri Sunarti (48), seorang pekerja di pabrik rokok Salatiga, khawatir kebijakan tersebut bisa berdampak pada tutupnya pabrik tempat ia bekerja.
Sunarti telah bekerja selama 22 tahun di PT Agrig Amarga Jaya (AAJ) Salatiga, dan ia sangat menggantungkan hidupnya melalui pabrik itu.
"Kalau cukai naik, otomatis penjualan turun dan dampak ke buruh linting. Nanti kalau sampai pabrik ini ditutup kami kehilangan pekerjaan," kata Sunarti kepada wartawan, Sabtu (1/10/2022).
Pabrik ini memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT), di mana mayoritas pekerjanya adalah wanita. Dari 1400 karyawan, 90 persen adalah wanita yang justru menjadi tulang punggung keluarga.
SKT merupakan industri hasil tembakau (IHT) yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Proses pembuatan rokok kretek dilakukan menggunakan alat cetak secara manual, di mana batang rokok satu per satu dihasilkan.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tegas Larang Iklan Rokok di Internet Lewat Pengesahan Revisi PP 109/2012
Sunarti berharap masih bisa bekerja lebih lama lagi di pabrik itu, terlebih saat ini ia menjadi tumpuan keluarga setelah suaminya mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu.
"Suami saya kecelakaan tangan kiri patah dan anak saya juga patah dan saya jadi tulang punggung mereka dan saya harap jangan sampai terjadi (pabrik tutup)," sambungnya.
Sunarti yang bekerja menggunakan kacamata ini merasa bersyukur, berkat pabrik rokok itu dua anaknya bisa menempuh pendidikan dengan baik, bahkan anak yang kedua sampai ke perguruan tinggi.
"Anak saya ada dua, satu umur 28 tahun lulus STM dan sudah menikah dan saya punya cucu dua (dari anak pertama ini). Anak kedua 25 tahun lulus di salah satu perguruan tinggi di Salatiga, dikarenakan pabrik ini," ujar Sunarti.
Asa Sunarti, pabrik tempat ia bekerja itu bisa membantu sampai ia menikahkan anak keduanya.
"Saya punya tanggungan anak satu dan menjadi tanggung jawab saya untuk menikahkannya, dan itu semua bergantung dari pabrik ini," ujarnya.
Sejak bekerja pada tahun 2000 lalu, Sunarti turut merasakan jenjang karir di perusahaan tersebut, dimulai pegawai biasa di bagian produksi.
"Saya masuk ke sini berawal di bagian produksi, di bagian ngepack (packing) 7 tahun, menjadi leader 10 tahun dan dipindah ke giling dijadikan leader sampai saat ini," aku Sunarti.
Situasi naik turun perusahaan pun turut ia rasakan selama bekerja di pabrik itu.
"Kalau penjualan naik kami bekerja bisa kerja dengan jam panjang, kalau turun kami juga mengalami penurunan," terangnya.
Namun demikian, hal itu bukan menjadi suatu beban baginya.
"Ini jadi tanggung jawab saya, keluarga saya, saya keluar rumah saya mau bekerja menafkahi keluarga dengan restu suami saya, dan ini bukan beban," kata Sunarti.
Sunarti juga merasa bersyukur, dari pabrik rokok itu pula ia bisa menabung dan merenovasi rumahnya.
"Kami harap ke pemerintah untuk tidak menutup atau menghilangkan pabrik ini. Karena bisa menyukupkan kebutuhan kami, sekolah anak kami, kami bisa menabung," kata dia.
Fasilitas Disabilitas
Tak hanya Sunarti saja yang menggantungkan hidupnya dari, hal yang sama juga turut dialami oleh Amarul (48).
Amarul merupakan seorang penyandang disabilitas yang memiliki masalah pada kakinya.
Di pabrik itu, Amarul merasa diterima sehingga membuatnya betah dan bertahan untuk bekerja selama 20 tahun lamanya.
Amarul telah bekerja sejak tahun 2002 di perusahaan itu, tepatnya di bagian produksi.
Di awal bekerja, ia sempat pesimis dengan perlakuan perusahaan kepada dirinya.
Tapi ternyata, perusahaan memperlakukan dirinya dengan baik.
"Awalnya saya diajak teman saya kerja disini tahun 2002. Saya lumayan pesimis, tapi disini tidak membedakan yang sempurna dengan tidak dan saya nyaman kerja disini karena tidak mendiskriminasi antar karyawan," ungkap Amarul.
Amarul juga mendapat fasilitas kesehatan dan juga merasakan adanya bonus-bonus dari perusahaan.
Ia pun bersukur dari pabrik itu dirinya bisa mencukupi kehidupan dan kebutuhan keluarganya.
"Selama ini saya bisa mencukupi kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak dan jadi tulang punggung keluarga," sambungnya.
Suami Amarul hanya bekerja sebagai serabutan yang penghasilannya tak menentu, oleh karenanya keluarganya sangat bergantung dengan pabrik rokok itu.
Ia tak bisa membayangkan kedepannya jika perusahaan tempat ia bekerja itu tutup.
"Suami saya kerja serabutan, kami harap perusahaan bisa terus berjalan dan kami bisa tetap bekerja menghidupi keluarga kami," tukasnya.
Bertahan dari Pandemi

Situasi pandemi banyak membuat perusahaan gulung tikar.
Tapi pabrik rokok AAJ masih bisa bertahan dengan situasi itu, bahkan masih bisa membuka rekrutmen untuk tenaga baru.
Hal itulah yang disyukuri oleh Andini (20), karyawan baru yang bekerja sejak 2020 lalu.
Andini yang berasal dari Kuningan Jawa Barat itu menjadi korban PHK di perusahaan tempat ia bekerja sebelumnya.
Dirinya sempat bingung harus bekerja dimana lagi, ijazah yang ia miliki hanya lulusan SMA.
Beruntung, ia mendapat informasi dari kerabat di Salatiga, ada perusahaan rokok yang membuka lowongan kerja.
Sudah dua tahun ini ia menjadi karyawan PT AAJ di bagian pengemasan atau packing.
"Saya masuk tahun 2020, saya merasa bersyukur dan berkah karena perusahaan mana di masa pandemi yang mau buka loker. Disini lingkungan kerja baik, mandor baik, Teman-teman baik dan saya betah kerja di sini," ungkap Andini.
Di usianya yang masih muda, ada harapan besar yang disandarkan Andini kepada pabrik rokok tempat ia bekerja itu.
Andini merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Ia harus membantu keluarga dan mencukupi kebutuhan adik-adiknya.
"Saya adiknya ada enam, saya anak pertama dari tujuh bersaudara, makanya di pundak saya ada tanggung jawab, saya punya tekad untuk kerja," ungkap Andini.
Tak hanya itu, Andini juga memiliki tekad untuk menuntaskan pendidikan ke yang lebih tinggi lagi.
Saat ini Andini telah berstatus sebagai mahasiswa di sebuah sekolah tinggi ekonomi di Salatiga.
Jam kerja perusahaan, kata Andini, cukup mendukung untuk dia kuliah, sehinga tidak ada kesulitan untuk membagi waktu antara bekerja dan kuliah.
Andini menambahkan, salah satu kunci untuk membagi waktu antara kuliah dan bekerja, yakni dengan mencukupkan istirahat dan tidak stress.
"Jam kerja di sini kalau jam kerja pendek tujuh jam pulang jam 2. Saya pulang istirahat dan semaksimal mungkin tidak stress dan rileks. Jam 4 baru saya berangkat kuliah sampai pukul setengah 8 malam dan diusahakan pikiran itu jangan dijadikan beban pikiran kerja kuliah," kata dia.
Selain itu, peran keluarga yang selalu mensuport ketika ada masalah juga menjadi penting.
"Saya punya keluarga yang sangat hangat di Kuningan, saat saya capek lelah stress mereka selalu dukung saya," ungkapnya.
Semangat itulah yang ia coba tularkan kepada adik-adiknya.
Ia pun berharap, pemerintah bisa melindungi pekerjaannya saat ini dan memikirkan ulang rencana menaikkan tarif CHT.
"Saya harap ke pemerintah, mendengar suara kami. Saya harap pemerintah mampu melindungi kami. Dengan pekerjaan ini kami bertahan hidup, menjadi tulang punggung keluarga, melanjutkan pendidikan," terang Andini.