Fraksi PKB Cari Formula Hadapi Guncangan Ekonomi Global, Jangan Dimanfaatkan Spekulan
Fraksi PKB DPR RI mencari formula dalam menghadapi guncangan ekonomi global dengan mendengar masukan dari berbagai pakar ekonomi
Ia pun mengingatkan konsep yang disampaikan dalam surat di Alquran, Surat Yusuf tentang bagaimana menghadapi kekeringan 7 tahun, harus dipersiapkan 7 tahun sekarang ketika kondisi space fiskalnya agak longgar.
“Jangan ketika kita kaya kita boros, ketika menghadapi masa-masa krisis kita tidak punya bumper stock untuk menghadapi hal tersebut,” pesannya.
“Ketika krisis ini bantalan social safety net bisa segera dilakukan, untuk menghadapi krisis, untuk menggerakkan ekonomi duitnya ada atau alatnya ada. Countercyclical yang dipake kemaren, berani kepala BKF, beliau berani menggunakan countercyclical,” sambung Cucun.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, kalau IMF mengatakan kondisi ekonomi global akan gelap signifikan, menurutnya tidak ada yang segelap awal 2020 ,begitu juga saat Indonesia menghadapi varian Delta.
Namun, itu semua dihadapi bersama dan dengan ketidakpastian bisa dilalui.
Namun, Febrio mengakui bahwa tantangan yang akan dihadapi bertambah, pandeminya belum selesai. Tapi, apakah tantangannya lebih berat dari 2020, ia pun belum tahu.
“Sebelum terjadinya geopolitik di akhir Februari 2022 kita sudah menghadapi inflasi yang tinggi di banyak dunia, karena apa? karena selama dua tahun masy dunia punya tabungan yang banyak, ketika mulai relaksasi masyarakat dunia ingin mobile dan ingin bergerak. Tapi sektor supply nya tidak bisa menyesaikan,” paparnya di kesempatan sama.
Baca juga: Korea Utara Tolak Bantuan Ekonomi Korea Selatan, Ini Tanggapan Seoul
Kemudian, menurut Febrio, hal ini diperparah dengan geopolitik dimulainya perang di Ukraina. Dan konflik ini bukan sesuatu yang bisa dibayangkan akan selesai dalam waktu jangka pendek.
“Kita harus siap-siap tapi ini akan menjadi normal baru, antar kubu atau antar pihak belum akan selesai konfliknya dalam jangka pendek,” ujarnya.
Di sisi lain, pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, dirinya justru khawatir dengan pidato Nota Keuangan Presiden Jokowi bahwa ekonomi Indonesia akan baik-baik saja.
Bahkan, Ia mengibaratkan pidato Jokowi ini seperti tanda-tanda orang mau meninggal dunia.
“Saya udah deg-degan tuh. Kompresensi ini bisa jadi tanda-tanda kita akan menghadapi krisis besar, kalau orang mau meninggal dia sadar dulu, memberikan fatwa, waris-waris selesai baru dia meninggalkan dunia,” kata Faisal di kesempatan sama.
Dia menilai, pengeluaran paling besar adalan bayar utang yang mencapai Rp 3.000 triliun, dan itu bukan tanda keberhasilan sebab sudah mencapai Rp 3.000 triliun, yang jumlah itu disebabkan karena pembayaran bunga pinjaman Indonesia yang naiknya luar biasa.
Baca juga: Program Jakpreneur, Langkah Pemprov DKI untuk Gerakkan Ekonomi Masyarakat Jakarta
“Rp 3.000 triliun disebabkan bayar bunganya lebih banyak. Sehingga selama era Pak Jokowi sampai 2023 buat bayar dari APBN-nya 230,8 persen,” ungkapnya.
Kedua, sambung Faisal, pengeluaran yang meningkat besar yakni belanja barang, ketiga belanja pegawai, dan keempat belanja modal yang naik di era Jokowi sebesar 35,1 persen. Sementara untuk untuk konsumsi rakyat atau bansos naiknya 51,7 persen.
“Nilainya juga kalau 2023 Rp 168,6 triliun, jauh dari subsidi yang mencapai Rp 502 sekian triliun itu. Jadi inilah struktur, arsitektur APBN ini, belanja pemerintah pusatnya kemana ya?,” tutur Faisal.