Minggu, 5 Oktober 2025

Belajar Cara Inggris Mengolah Sampah Jadi Energi

pengelolaan sampah dan masalah plastik yang mencemari lautan membutuhkan komitmen pemerintah dan partisipasi masyarakat

Editor: Sanusi
ist
Proses pengelolaan sampah limbah organik untuk kebutuhan energi 

Hasil gas biometana ini oleh Pemerintah Inggris kemudian dibawa ke area-area terpencil yang tidak terhubung dengan jaringan utama listrik. Di negara asal grup musik legendaris The Beatles itu, AD dapat menjadi opsi menghasilkan listrik secara lokal untuk digunakan oleh masyarakat maupun perusahaan setempat. Sedangkan kompos sisanya dapat digunakan untuk menyuburkan tanah agar mudah ditanami.

Selanjutnya sisa limbah dapat dibuang di lahan yang aman menggunakan metode Sanitary Landfill dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkannya, dan kemudian menimbunnya lagi dengan tanah. Kunci sukses dari metode itu adalah harus menjaga perembesan polusi di tanah dan ke aliran air.

Bioreaktor Laguna tertutup
Bioreaktor Laguna tertutup yang disediakan oleh perusahaan Inggris Organics untuk mengubah limbah gas biometana menjadi energi bagi perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Tengah

"Gas yang dihasilkan dari Tempat Pemrosesan Akhir (Biometana) juga dapat diurai dan hal ini merupakan teknologi yang telah lama dikembangkan di Inggris," imbuhnya.

Sacks menilai dalam beberapa dekade terakhir, pengelolaan sampah di Inggris sudah mencapai tahap di mana pemerintah Inggris telah memiliki layanan pengumpulan dan pengolahan sampah yang komprehensif di seluruh negeri. Masyarakat Inggris yakin bahwa semua limbah dikumpulkan dan material-material limbah akan dipisahkan untuk pendauran-ulang berikutnya.

Hal ini telah melalui proses yang panjang dan didorong oleh latar belakang kebijakan yang kuat di kawasan Eropa, Nasional dan Lokal. Selain itu, pendanaan khusus telah disiapkan untuk menyiapkan sistem yang dibutuhkan masyarakat Inggris dengan menggunakan sistem revenue grants dan pinjaman melalui inisiatif keuangan swasta.

Dengan pengalaman puluhan tahun yang dimilikinya, Inggris telah banyak memakan asam garam pengolahan limbah menjadi energi. Kendala pendanaan untuk pengumpulan dan pembuangan limbah yang dirasakan pemerintah kota/kabupaten di Indonesia juga pernah dialami.

Sacks mengatakan, uang yang terkumpul dari pembangkit listrik tidak cukup untuk membayar biaya fasilitas Energy from Waste (EfW) karena biaya pembangunannya sangat mahal dan oleh karena itu operator fasilitas ini memerlukan BLPS untuk mengolah limbah.

"Di Inggris, hal ini berarti bahwa badan, pemerintah kota atau perusahaan, untuk membuang limbah harus membayar biaya yang signifikan kepada operator EfW. Ini dapat berkisar antara 40 dolar AS hingga 150 dolar AS per ton, tergantung pada komposisi dan nilai kalor (calorific value) dari limbah dan jenis fasilitas yang menerima limbah. Selain itu ada biaya transportasi tambahan. Namun biaya ini dibelanjakan dengan alasan yang benar karena publik bisa menerima manfaat dari pengelolaan limbah yang tepat, bagi lingkungan, dan juga bagi kesehatan," kata Sacks dalam risetnya.

Menurut Sacks, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Daerah setempat perlu menghitung dengan cermat biaya operasional untuk menjalankan fasilitas pengelolaan limbah karena ini biasanya merupakan biaya yang paling signifikan dan lebih tinggi daripada biaya belanja modal pabrik.

Biaya operasional ini bisa ditutup dalam jangka panjang dengan kombinasi BLPS yang dibayarkan untuk membuang limbah, nilai yang diperoleh dari penjualan bahan yang dapat didaur-ulang, dan pendapatan dari pembangkit listrik jika memungkinkan.

BLPS ini dapat dikumpulkan pembayarannya oleh pemerintah dari para penghasil limbah seperti pelaku industri dan rumah tangga. Kemudian, listrik yang dihasilkan oleh fasilitas limbah dapat disubsidi melalui sistem nasional atau lokal karena peran yang dimainkan oleh EfW dalam memperbaiki lingkungan.

"Kombinasi arus pendapatan ini digunakan untuk membayar pengoperasian fasilitas pengolahan limbah. Jadi ada uang yang bisa dihasilkan dari pengelolaan limbah yang berkelanjutan, tetapi ada juga kebutuhan untuk memasukkan uang ke dalam sistem pengelolaan limbah. Di Eropa, ada gerakan yang berkembang untuk membuat produsen pengemasan dan barang mengambil tanggung jawab keuangan atas bahan yang mereka gunakan dan pasarkan, tetapi mekanisme untuk melakukannya bisa rumit dan perlu ditegakkan oleh otoritas publik," kata Sacks.

Penegakan hukum inilah yang menurutnya memegang peranan penting dalam membuat sistem berfungsi untuk keperluan memelihara lingkungan yang bersih dan sehat.

"Masyarakat juga perlu mengevaluasi perilaku dan mempertimbangkan kebutuhan menggunakan plastik dan kemasan plastik lainnya yang diperoleh secara bebas dalam setiap kegiatan belanja. Kemudian kita perlu memikirkan apakah plastik ini dibuang dengan benar secara terkendali, atau apakah ditinggalkan begitu saja di jalan. Jika kita ingin melindungi lingkungan bagi wisatawan dan masyarakat luas, maka kita harus memanfaatkan peluang ekonomi yang menyertainya," pungkasnya.

Studi Kasus Argentina dan Indonesia

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved