Perbaiki Daya Tarik Fiskal Migas Agar Menarik Buat Investor
Ke depan, pemerintah diharapkan akan bisa memangkas kembali waktu perizinan di sektor hulu migas.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri hulu migas dunia tengah mengalami masa suram akibat pandemi Covid-19.
Harga minyak terperosok hingga membuat investasi hulu migas dunia anjlok hingga 125 miliar dolar AS.
Direktur Penelitian Asia Pasifik Wood Mackenzie Andrew Harwood mengatakan, perlu upaya pemerintah memperbaiki daya tarik fiskal (fiscal attractiveness) termasuk dengan tidak berhenti memberikan fleksibilitas skema kontrak.
“Pemberian insentif diharapkan tidak berhenti sampai di situ saja. Pasalnya, negara-negara lain terus melakukan pengembangan perbaikan iklim investasi,” kata Andrew dalam FGD Ekonomi dan Keuangan 2020 bertema Strategic Collaborative Synergy and Effective Fiscal Terms ditulis, Senin (23/11/2020).
Menurut Andrew, nilai daya tarik fiskal Indonesia masih berada jauh di bawah Malaysia, tapi masih di atas Irak dan Brasil.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Diprediksi akan Mengubah Pola Bisnis Industri Hulu Migas
Irak dan Brasil lebih menarik bagi investor dibanding Indonesia.
Akumulasi prospek migas disebut Andrew sebagai salah satu faktor yang turut memengaruhi ketertarikan investor, selain fiscal term yang berlaku.
Baca juga: SKK Migas: Cekungan Migas yang Belum Dibor Masih Melimpah
“Pada 2010, Brasil menjadi tempat investasi favorit dan ini menarik bagi investor berskala besar. Begitu pula dengan Irak. Meski kebijakan fiskal yang berlaku tidak begitu baik, prospek migas di Irak terbilang bagus,” kata Andrew.
Pola pikir investor saat ini tidak hanya fokus pada upaya peningkatan produksi migas. Tren tersebut perlahan berubah karena perusahaan migas mulai melihat segi pendapatan yang bisa dihasilkan dari produksi migas.
Melihat kondisi tersebut, Andrew menilai, pemerintah perlu memperhatikan sejumlah aspek lain, seperti split migas, daya tarik subsurface, serta penyediaan bagi hasil yang menarik untuk investor.
“Investor berpandangan, kerugian di suatu blok bisa diimbangi dengan produksi dari blok lain. Hal ini yang tidak ada di Indonesia sehingga perusahaan sulit membuat basis di Indonesia,” kata Andrew.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus memperhatikan regulasi lain, terutama terkait persoalan perizinan yang selama ini dianggap menjadi hambatan karena berbelit-belit.
Ke depan, pemerintah diharapkan akan bisa memangkas kembali waktu perizinan di sektor hulu migas.
Ambisi pemerintah untuk mewujudkan target produksi minyak 1 juta BOPD dan gas 12 BSCFD pada tahun 2030 dinilai Andrew sebagai kondisi yang tergolong menarik.