Eksklusif Tribunnews
Dirut Garuda, Irfan Setiaputra: Tantangan Saya Recovery Garuda 100 Persen
Bahkan, 70 persen pesawat terbang milik maskapai pelat merah tersebut dikandangkan.pendapatan hingga 90
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Baru saja dilantik menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia menggantikan Ari Ashkara sejak Januari 2020 lalu, Irfan Setiaputra langsung menghadapi tantangan pandemic covid-19.
Perseroan yang dipimpinnya mengalami penurunan pendapatan hingga 90 persen sejak ada pandemi. Bahkan, 70 persen pesawat terbang milik maskapai pelat merah tersebut dikandangkan.
Baca: Dirut Garuda: Penerbangan Berhenti, Aktivitas Ekonomi Ikut Mandeg
Mengenakan kemeja batik berwarna hitam dengan corak biru dan putih, Irfan di awal pertemuan special interview dengan Tribun sempat mengenang saat pertama kali duduk sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia.
Kala itu ia bisa melihat arus lalu lintas penerbangan super sibuk dari kantornya. Ia bisa memandangi pesawat Garuda Indonesia jenis Boeing 737 dan 777 berseliweran di langit Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
"Dari kaca ini saya bisa melihat pesawat sibuk. Sekarang hanya awan yang menghampar biru. Dulu saya bisa lihat pesawat bolak balik, sampai lihat dan mengira itu pesawat tabrakan enggak ya, karena saking sibuknya," ujar Irfan seraya menunjuk kaca di ruangan kepada Tribun Network, Kamis (11/6).
Kondisi itu berlangsung sebelum adanya pandemi covid-19. Terutama sebelum kasus pertama kali muncul di Indonesia pada 2 Maret 2020. Sepekan setelah itu, covid-19 mengubah segalanya. Termasuk di industri penerbangan. "Seminggu setelah itu drop menakjubkan sampai pada level tinggal 10 persen," tutur Irfan.
Baca: Covid-19 Bikin Pahit Bisnis Airline, Garuda Tujuan Pontianak Pernah Hanya Terbangkan 4 Penumpang
"Saya tidak lagi melihat banyaknya pesawat yang terbang dari sini," sambungnya. Di titik ini, awal mula Irfan menerima tantangan sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia, yang disebutnya sebagai salah satu 'wajah pertama' Indonesia sebelum turis mancanegara memasuki nusantara.

Berikut ini petikan wawancara Tribun dengan Irfan Setiaputra:
Seperti apa kondisi yang dihadapi Garuda saat ini ? Pesawat berapa yang digrounded berapa persen jumlahnya?
Awal-awalnya kita mencoba tidak terlalu tegas karena apa yang terjadi di industri ini memang menakjubkan. Sebuah industri yang diramalkan growth exponential itu tiba-tiba dalam waktu seminggu setelah ditemukan ada penderita covid-19 di Indonesia langsung drop menakjubkan sampai di level tinggal 10 persen.
Industri ini uniknya ada beberapa hal, basisnya adalah mobilitas. Dan ketika kebutuhan mobilitas dari waktu ke waktu, generasi ke generasi meningkat dan didorong beberapa hal, yang sebenarnya tidak ada kaitan. Seperti menjamurnya Instagram, itu membuat orang ingin bepergian.
Apalagi ada begitu banyak opsi hari ini. Tahun 70an ketika Anda ingin ke Singapura "kapan ingin ke Singapura? Minggu depan hari Jumat". Kalau hari ini tidak ada pertanyaan atau ada jawaban, kapan ke Singapura? "Nanti sore, nanti malam".
Baca: Manajemen Garuda Plong, Perpanjangan Pelunasan Sukuk Globalnya Dapat Persetujuan
Ada puluhan penerbangan dari Jakarta ke Singapura. Pertama mobilitas itu ketika menjadi sebuah gaung bahwa virus ini tersebar karena pergerakan dan disarankan stay at home, work from home, di mana rekan-rekan kita pada di rumah.
Itu sebuah tanda yang sangat jelas bahwa mobilisasi adalah sebuah perbuatan yang mendekati perbuatan tak beradab.
Baca: Garuda Klaim Tidak Naikkan Harga Tiket Hingga Dua Kali Lipat di Masa New Normal
Membuat industri penerbangan ini menghadapi kondisi seperti apa?
Ya otomatis semua industri yang terlibat dalam mobilisasi ini menjadi terpukul habis. Kalau airlines ini jadi sangat unik. Pesawat itu harganya bukan ratusan juta 1 unit. Kalau Anda punya perusahaan sewa mobil, Anda punya 10 ya Anda bisa jual bebas. Kalau pesawat Anda tidak bisa jual bebas.
Anda bisa jual rugi. Kalau pesawat mungkin ini menjadi challenge. Ini beda dengan kasus 98, beda di mana Indonesia terkena impact, tapi seluruh dunia tidak terkena impact.
Baca: Login www.pln.co.id atau Via WA ke 08122123123, Klaim Token Listrik Gratis PLN Juni 2020
Beda dengan kasus 2008, ketika Amerika terkena impact, sedangkan orang yang ingin berlibur ke Bali tidak ngerti ada apa di Amerika. Yang menjadi persoalan ini ternyata banyak turunan atau implikasi-implikasi langsung.
Apa saja yang terdampak dalam industri penerbangan?
Dari industri penerbangan ini, banyak yang terdampak. Hotel, restoran, tempat-tempat penjualan barang-barang souvenir. Kalau toko-toko, seperti toko kebutuhan pokok, elektronik, bisa diselesaikan dengan penjualan online.
Tapi kan Anda tidak mungkin beli asbak cenderamata dari Manado terus beli online. Bukan tidak boleh, tapi Anda melakukan perbuatan menipu diri sendiri seolah-olah Anda ke Manado.
Artinya adalah semua sektor kena. Dari 90 persen penurunan penumpang sebenarnya buat kita dimulai. Yang memukul kita yang paling berat adalah umrah ditutup. Dari tahun ke tahun kita banyak menerbangkan orang umrah.
Dan ketika ditemukan ada covid di Indonesia, dan mobilisasi di Indonesia jadi isu besar, pendapatan domestik kita drastis turunnya.
Berapa jumlah pesawat yang di-grounded?
Akibat dari itu kita harus memarkir atau me-grounded pesawat-pesawat kita. 70 persenan. Itu alat produksi. Hampir di semua industri ini alat-alat produksi itu leasing. Leasing itu bukan berdasarkan jam berproduksi, tapi berdasarkan hari, bulan, minggu. Jadi Anda bisa bayangkan cost produksi kita tidak turun yang fix, sewa pesawat tidak turun.
Sementara dia tidak menghasilkan. Anda bisa bayangkan complexity-nya. Sementara di sisi sumber daya manusia, seluruh airlines itu selalu menstruktur sumber daya manusia based on future plan. Bukan based on term condition. Beda dengan industri yang lain.
Tapi khusus penerbangan itu. Kita punya SDM, awak kabin, pilot, dengan sebuah planning beberapa tahun ke depan. Bahwa kita akan kedatangan beberapa pesawat lagi. Penumpang peningkatan segini, makanya kita siapkan pilot, makanya kita siapkan awak kabin.
Dan infrastruktur pendukungnya. Anda bisa bayangkan ketika itu tidak happening. Dan kekinian drastis.
Tentu saja sumber daya manusia jadi berlebih. Jadi jangan dilihat jahat tidak jahat. Ini alat produksi. Kalau kita ingin sederhanakan dalam terminologi itu. Malah produksinya berlebih, tidak menghasilkan, biaya produksi tetap ada. Teori simple profit and loss.
Tapi saya ini Dirut Garuda 60 persen pemiliknya pemerintah, interaksi saya dengan Kementerian Perhubungan, BUMN, Kementerian Agama, saya menyadari sekali dalam diskusi-diskusi ada kegamangan.
Saya merasakan. Anda kalau sudah umur saya tidak main logic, main perasaan. Ini tidak ada sekolahnya, tanya sekolah yang di Harvard lah how you handle this? Tidak ada case study. Adanya study case 2008.
Tapi tidak ada menyatakan problem yang dimulai oleh kesehatan menciptakan dampak resesi ekonomi gila-gilaan sampai hari ini menjadi sebuah persoalan kemanusiaan. Kejadian pertama kali dalam kehidupan.
Baca: Penjelasan Garuda Indonesia soal Insiden Pesawat GA 532 di Banjarmasin
Maka sangat wajar membuat kebingungan. Saya pakai istilah gamang. Saya banyak menghadiri vicon-vicon, yang hari ini setuju, besok beda. Karena dapat informasi baru. Kegamangan ini membuat kemudian kita saling menjaga diri jangan sampai membingungkan yang lain.
Artinya pesawat jangan ngotot terbang sementara ada isu kesehatan, isu physical distancing. Kita coba komunikasi terus menerus. Persoalannya industri ini membutuhkan kepastian kita bisa recovery sampai kita ada di posisi sebelum covid. Contoh hari ini pendapatan kita tinggal 10 persen. Kalau normal 100 persen.
Apakah bisa recovery sampai 100 persen?
Kalau ini membaik jadi 30 persen, menurut Anda sudah membaik belum? Membaik. Tapi tidak ada artinya. Karena pada waktu 100 persen, Anda tahu laporan keuangan kita. Masih jalan 90 persen saja sudah babak belur. Apalagi tinggal 10 persen. Dari 10 persen menjadi 100 persen pertanyaan yang menantang buat orang seperti saya dan orang-orang menjalani industri ini adalah berapa lama? Untuk balik 100 persen.
Yang kedua, jangan-jangan tidak pernah lagi balik ke 100 persen. Jangan-jangan 50, 70. Kita harus petakan. Kalau 70 bagaimana posisi perusahaan kita. Kalau 50 gimana.
Baca: Masyarakat Diajak Gotong Royong Pulihkan Ekonomi Desa Pasca-Covid-19
Dan yang paling penting 50nya kapan. Karena Anda bisa bikin plan basis 50 persen atau 70 persen atau 100 persen. Anda harus punya asumsi yang clear kira-kira kapan.
Karena kalau Anda bilang, oh ini masih akan terjadi Desember 2021. Pertanyaannya begitu sampai mana. What is gonna happen? Thai Airlines, perusahaan yang dipuji-puji, menjadi kebanggaan orang Thailand, ternyata perusahaan rugi terus pemerintah memutuskan membangkrutkan.
Baca: Rektor UI: Di Masa Datang, Bahan Bakar Fosil Akan Digantikan Petrochemical
Ada berapa triliun tiket yang masih butuh waktu untuk refund. Yang sudah bayar. Industri ini ada isunya di soal waktu. Nah in between semuanya, how kita handle atau kita manage situasi. Tetapi kalau saya sebagai CEO Garuda ditambah persoalan baru.