Pertumbuhan Ekonomi Nasional Harus Digenjot dengan Investasi Baru
Angka ini telah menempatkan Indonesia di posisi kedua sebagai negara dengan petumbuhan ekonomi tertinggi di antara negara-negara G20.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata lima persen per tahun.
Angka ini telah menempatkan Indonesia di posisi kedua sebagai negara dengan petumbuhan ekonomi tertinggi di antara negara-negara G20.
Namun saat ini ada tantangan baru bagi perekonomian Indonesia tidak saja berupa jebakan negara dengan pendapatan menengah, tetapi juga perlambatan ekonomi dunia karena perang dagang AS-Tiongkok dan wabah virus Covid-19 yang menekan perkembangan ekonomi.
Menurut Umar Juoro Ketua Dewan Direktur Center of Information and Develompment Studies (CIDES), agar Indonesia bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah, maka pertumbuhan ekonomi tersebut harus digenjot.
Baca: Prakiraan Cuaca 33 Kota di Indonesia Besok Jumat 28 Februari 2020: Bandung Berpotensi Hujan Petir
Baca: Video Eksklusif : Jemaah Umrah asal Indonesia Ceritakan Kondisi Terbaru Arab Saudi
“Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 6 persen perlu adanya investasi yang juga meningkat. Agar ekonomi tumbuh sebesar 5,7-6 persen per tahun, diperlukan pertumbuhan investasi sebesar 8-9 persen. Sementara untuk tumbuh lebih tinggi lagi, diperkirakan memerlukan pertumbuhan investasi di atas 10 persen atau minimal dua digit,” jelas Umar Juoro, Kamis (27/2/2020).
Selama kurun waktu 2015 hingga 2019, pertumbuhan investasi nasional hanya sekitar 7,94 persen. World Economic Forum bahkan menyebutkan jika daya saing Indonesia kini turun.
Menurut laporan WEF daya saing Indonesia turun dari 45 ke-50. Di antara negara tetangga, Indonesia memang di atas Filipina (64), Vietnam (67), India (68) dan Laos (113). Namun angka tersebut di bawah Malaysia (27) dan Thailand (40).
Turunya daya saing ini disebabkan oleh permasalahan struktural. Misalnya prosedur perizinan yang berbelit-belit.
Ini juga tercermin dari waktu untuk memulai bisnis di Indonesia yang menduduki peringkat ke-103. Bahkan biaya untuk memulai usaha, Indonesia mendapat peringkat ke-67. Selain itu indikator kesehatan menempati peringkat ke-96 dari 141 negara terutama karena angka harapan hidup Indonesia menempati posisi ke-95.
Hal itu masih ditambah tingkat pendidikan tenaga kerja yang sebagian besar masih pada tingkat sekolah dasar. Faktor ini menyebabkan Indonesia mendapatkan peringkat ke-92 untuk lama sekolah. Kecakapan tenaga kerja Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-36. Namun skor itu cenderung turun karena kemampuan digital yang rendah.
Menurut Umar Juoro, pasar tenaga kerja di Indonesia mendapatkan penilaian rendah karena terlalu kaku sehingga hanya menempati posisi ke-119. Selain itu adanya kelemahan mendasar kemampuan inovasi yang menempati tempat ke-74, ditambah dengan penelitian dan pengembangan atau R&D (peringkat 83).
Namun ada pula faktor-faktor yang membuat Indonesia tetap menjadi negara dengan perekonomian yang menjanjikan. Misalnya angka inflasi yang menduduki peringkat ke-1 untuk stabilitas makro.
“Faktor lain yang sukar untuk ditandingi oleh negara-negara lain adalah besarnya pasar dalam negeri yang menduduki peringkat ke-7,” kata Umar Juoro.
Selain itu ada pula infrastruktur transportasi yang terus membaik dan mendongkrak posisi Indonesia sehingga kini menduduki peringkat 28.
Namun Umar Juoro juga menyatakan harus disadari pula infrastruktur lain masih belum memadai. Sebagai contoh infrastruktur listrik, gas, air minum dan sanitasi yang menduduki peringkat 103 dengan skor 87,5 untuk akses listrik, 85,6 untuk kualitas listrik.
Kondisi Indonesia seperti itu sebenarnya membuat negara ini prospektif, meski jika dilihat dari komposisi investasi yang menonjol adalah modal portopolio jangka pendek.
“Bagi investor dalam membuat komitmen jangka panjang seperti mendirikan pabrik masih terganjal banyaknya hambatan di lapangan, mulai tumpang tindihnya regulasi perizinan sampai pasar tenaga kerja yang dipersepsikan tidak terlalu fleksibel,” ungkap Umar Juoro.
Umar berpendapat besarnya investasi yang akan mempunyai efek pada peningkatan permintaan agregat dan kapasitas produksi sekaligus.
Sementara arus modal portopolio meningkatkan likuiditas bagi perekonomian sehingga dan meningkatkan pertumbuhan melalui konsumsi masyarakat dengan wealth effect. Sayangnya, belum cukup besar dari wealth effect yang menyumbang pada peningkatan kapasitas produksi.